Badai Telah Usai

*cerita ini pernah dimuat di majalah Anita Cemerlang, Volume 174 (12 September—2 Oktober 1985), masuk dalam kategori cerita mini (cermin).

Rumah bergaya Spanyol seluas istana itu seakan menelan tubuh Mia. Sejenak ia ragu untuk menekan bel. Telah lama ia tak pernah datang dan bermain di rumah ini lagi.

Terakhir ia ke sini tepat Ketika orangtua Yogi sedang bertengkar hebat. Sejak kejadian itu, Mia dan teman-teman menjadi sungkan mengunjungi istana yang asri ini.

Hampir sebulan, pikir Mia menghitung. Selama itu pula terjadi perubahan drastis pada diri Yogi. Yogi yang supel, ramah, lincah, dengan humor-humornya yang segar dan memiliki seribu satu ide kratif, tiba-tiba menjadi manusia acuh tak acuh, dan memisahkan diri dari pergaulan.

Pernah dua tiga kali Mia mencoba mendekati Yogi, seperti persahabatan mereka dulu. Namun, Yogi tak pernah memberikan tanggapan.

Yogi kemudian tertutup hingga saat ini. Kalau bukan karena desakan teman-teman sekelas dan wali kelas, Mia tak akan mau mengusik persoalan Yogi dan datang ke rumah ini.

Baca juga: Fly Me to the Moon

“Eh, Non Mia. Silakan masuk, Non!” suara Bi Sumi mengejutkan Mia. Lamunannya buyar seketika.

“Yogi ada, Bi?”

Wajah perempuan tua itu tiba-tiba jadi muram.

“Den Yogi … Den Yogi sudah lama tidak di rumah lagi, Non.” Perempuan tua itu menunduk. Tampak kedukaan yang sarat di wajahnya.

“Selama itu Yogi tak pernah pulang, Bi?”

“Biasanya Den Yogi pulang pagi-pagi, menukar pakaian, kemudian pergi lagi. Bi Sumi khawatir Non, teman-teman Den Yogi menakutkan.”

Mia menghela napas.

“Eh, iya, Bi Sumi sampai lupa. Silakan masuk, Non. Tak ada siapa-siapa kok. Pak Sastro dan Bu Sastra lagi pergi. Sibuk, Non.”

Mia mengulas senyum. “Terima kasih, Bi Sumi. Saya permisi saja. Sudah sore.”


“Mia, kamu saja yang antre karcis. Aku lagi malas. Kesal,” rajuk Lani manja.

Mia membelalakkan mata, kemudian menyerah. Mia telah kenal betul sifat Lani yang doyan ‘cucimata’.

Saat melangkah menuju loket itulah Mia menangkap bayangan Yogi. Dengan cepat Mia menyerahkan uang karcis tersebut pada Lani dan berbisik, “Lan, kamu yang antre. Aku melihat Yogi. Kutunggu kau di kantin!”

Yogi sedang menyulut rokok saat Mia menghampiri gerombolan mereka. Yogi tampak terkejut melihat Mia menghampirinya.

“Yog, ada yang perlu kubicarakan denganmu,” kata Mia.

“O, ya?” sahut Yogi tanpa ekspresi.

Dengan gemas Mia menarik lengan Yogi menuju kantin, tanpa memedulikan suitan-suitan ramai dari teman-teman Yogi.

Baca juga: Lagu Rindu Pendaki

“Dari mana saja kau selama ini, Yog?” Serang Mia di kantin.

Yogi mengisap rokoknya perlahan, tanpa mengacuhkan pertanyaan Mia. Dengan kesal Mia menyambar rokok itu dan melemparkannya begitu saja.

Yogi diam.

“Yog, bicaralah. Apa saja yang kau kerjakan selama ini?”

“Kau jangan mendesakku, Mia.”

“Tidak,” tuntut Mia. “Kami semua mencemaskanmu, tahu?”

Yogi tersenyum sinis. “Kami? Kami siapa?”

“Ya, kami! Aku dan teman-teman kita, guru-guru di sekolah, dan tentu saja kedua orangtuamu.”

“Orangtuaku? Cih! Tak pernah ada dalam sejarah, Mia. Kamu tahu kan, keadaan keluargaku yang berantakan macam itu?”

Mia tercekat.

“Meski begitu, tak seharusnya kau merusak dirimu sendiri dengan merokok, membolos sekolah, bahkan mungkin mabuk-mabukan dan kembali terlibat narkotika.”

“Memang, kau butuh kompensasi. Namun semua itu bukan merupakan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan. Masih banyak yang dapat kau perbuat. Kau dengar kata-kataku, Yog?”

Yogi menggeram. Diremasnya rambutnya kuat-kuat. Betapa ingin dia memukul meja sekuat tenaga, seandainya mereka tidak berada di kantin.

Baca juga: Kwatrin Merah Dadu

Di hadapan Mia, Yogi selalu saja tidak berkutik. Di hadapan wajah cantik dan polos ini, Yogi tak pernah bisa bersikap kasar. Selalu begitu.

“Ya, kau betul, Mia. Aku akui kesalahanku, aku akui kepengecutanku. Memang tak seharusnya aku terlibat kembali dengan mereka.”

Yogi berhenti dan menghela napas panjang.

“Namun, Mia, mengertilah. Aku butuh perhatian. Aku butuh orang-orang yang mau mendengarkanku, bukan memandangku dengan belas kasihan. Aku butuh tempat untuk melampiaskan suara hatiku.”

“Aku mengerti, Yog. Aku mengenalku dengan baik. Begitupun sebalinya. Namun mengapa kau tidak datang padaku? Bukankah sejak dulu kau selalu mengadukan setiap persoalanmu?”

“Mia …,” desah Yogi. “Kau tak pernah mengerti. Oh, ya, bagaimana kabar Tonymu?”

“Tony?” Mia mengerjapkan mata. Tiba-tiba ditinjunya lengan Yogi.

“Kau cemburu padanya?” pancing Mia.

Yogi cuma mengangkat bahu.

“Kau salah mengerti, Yog. Aku tak pernah menjalin hubungan serius dengan Tony. Aku masih Mia yang dulu. Masih Mia yang selalu siap menerima dan berusaha memecahkan segala problemmu, Yog.”

Yogi mengatup bibirnya. Mia, ah, betapa cinta dapat mengalahkan segalanya, desah Yogi. Betapa gadis ini telah menggenggam pengharapanku. Kemudian dengan mantap digapainya jemari lembut itu, yang menjanjikan hari-hari manis. (*)

Ang Tek Khun
About the author

angtekkhun menulis di media cetak saat kuliah psikologi, berkarier di industri penerbitan, dan beralih ke media digital sebelum menggeluti integrasi media berbasis psikologi pembaca.

Tinggalkan komentar