Lagu Rindu Pendaki

mendaki!
hayo mendaki!
menanam langit dalam kakiku

dan aku tanam hari pada tanah
yang tidur di puncak diammu

aku bakar langit
bagi segala yang kudaki

(Cuplikan sajak Afrizal Malna, Orang Pendaki)

SEBUAH kerikil di tengah koridor. Tess! Kusepak dengan kekuatan penuh. Menggelinding ia, jauh, ke arah tembok sebelum tenggelam ke selokan yang tak mengalirkan air.

Aku kesal. Hatiku kacau. Pikiranku kusut masai. Kakiku lelah. Tungkaiku rasanya kehilangan engsel. Di mana sang putri salju? Di manakah gerangan ia?

Telah kuaduk-aduk semua sudut perpustakaan pusat. Demikian pula perpustakaan PPIA di Jalan Dr. Sutomo atau perpustakaan CCF di Darmokali. Namun hasilnya nihil. Sudah aku jelajahi Gramedia, Sari Agung, Indo Plaza, Tunjungan Plaza, atau Indira. Namun hasilnya nol besar.

Sebuah kerikil lagi sedang menantang langkahku. Tess! Nasibnya tidak berbeda dengan kerikil pertama. Cuma, kerikil ini lebih beruntung–ia menggelimpang di rerumputan taman samping.

“Hei, kok linglung begitu?” sebuah suara dari belakang menghentikan langkahku.

Dion menepuk pundakku dengan riang. “Kau ada kuliah apa?” tanya Dion menggamit langkahku. Aku menggeleng.

“Kau malas bicara,” terka Dion.

“Yeah.”

“Tampangmu kucel. Penampilanmu awut-awutan.

“Yeah.”

“Kau … mulai rada sinting.”

“Yeah.”

“Hei, bangsat betul kau hari ini.”

“Ye ….”

“Stop bilang ‘yeah’ terus.”

“Oke. Oya, mampir ke kantin yuk. Kerongkonganku kering nih. Kau ada kuliah? Atau, ada kesibukan lain?”

“O, tidak. Hanya iseng saja ke sini. Lihat-lihat, barangkali ada pengumuman. Mumpung aku belum musik,” jawab Dion tangkas.

“Jadi juga kau pulang liburan ini,” kataku sambil menyeret sebuah bangku.

“Ya, dong. Aku sudah dua tahun belum mudik. Bisa digorok nanti leherku sama Tuan Besar.” Dion menuliskan pesanan, kemudian melambaikan tangan pada seorang pelayan. “Kau ke mana? Aku dengar rencana kalian ke Rinjani ….”

“Yah ….”

“Kau ikut? Aku dengar desas-desus itu. Ada topan badai apa yang membuatmu aktif lagi?”

Aku tersenyum. “Seribu hantu belau, barangkali.”

“Fiu!” Dion meninju lenganku. Keras juga.

“Aku rindu pada hijau tanah airku. Tidak terlalu puitis bukan? Aku rindu pula pada bau gunung. Pada musik yang dimainkan hutan atau gelisah sungai-sungai mengalir.”

“Hm, sayang aku tidak dapat membayangkannya. Aku tak habis pikir, apa yang kalian dapatkan selain capeknya yang setengah mampus itu?”

“Sori, Dion. Hal ini tidak dapat diperdebatkan lagi, karena menyangkut prinsip yang cukup mendasar,” tandasku. Aku raih es jeruk yang telah terhidang. Menyeruputnya dengan perasaan lega. Dion membuat hal yang sama.

“Bagaimana dengan Andini?”

Dion memojokkanku.

“Kalian belum akur juga?”

Aku mengangguk.

“Kalau dia tahu, wah, bakal mengomel lagi dia,” Dion tersenyum kecut.

“Aku justru mencarinya saat ini untuk memberi tahu hal ini,” ujarku kalem.

“Sinting apa?” Dion membelalakkan matanya.

Aku mengangkat bahu.

“Tidak takut di-PHK?” gurau Dion.

Namun aku menggeleng dengan serius. “Apa yang perlu ditakuti? Sudah cukup lama aku menyerah padanya. Tapi dia tidak menghormati perubahanku itu.”

Dion menghela napas panjang. “Aku tak banyak tahu masalah pribadimu itu, sehingga aku tidak bisa kasih advis apa-apa. Aku cuma mau ngomong jangan mengambil keputusan dengan tergesa. Oke?”

Aku menepuk lengannya dengan senyum menentramkannya.

“Oke deh, Bas, aku harus membeli tiket hari ini. Kutinggal dulu, ya,” pamit Dion sambil menatap arlojinya.

Aku mengangguk. Mengiringi langkahnya setelah membayar minuman. Di gerbang utama kami berpisah. Kutempuh jalanku dengan perasaan galau. Di sana, mendung mulai datang lagi. Hari akan gelap sebelum rintik hujan kembali membasahi kota. Aku melangkah tergesa.


“AKU menyerah Sisca,” ujarku sambil melemparkan diri di atas sofa empuk. Sisca tersenyum penuh arti.

“Halah, masa cari Andini saja tidak ketemu,” ejeknya.

“Memangnya ke mana anak itu?”

Sisca mengangkat bahu. “Ia kan biasanya dekat tumpukan buku. Cari saja di segala perpustakaan di kota ini. Atau datangi saudara misannya di Darmo Harapan. Ia biasanya menghilang ke sana,” jelas Sisca.

“Darmo Harapan? Kau tahu alamatnya, kan?”

“Weh, memangnya aku pusat penerangan, ya?” Sisca mencibir.

“Bukan begitu. Kau kan sudah mencanangkan untuk menolongku,” desakku.

“Semprul! Pakai istilah canggih. Kapan, di mana, dalam kesempatan mana aku pernah janji?”

Aku mendelik hebat. Kulempar ia dengan bantalan kursi. Namun … ups, Sisca dengan tangkas telah mendekapnya.

“Oya, mau minum apa?” tawar Sisca. Namun aku sudah kehilangan konsentrasi untuk minum. Pikiranku masih obsesif pada Andini.

“Ayolah, Sis, sebutkan alamatnya,” ujarku dengan suara yang melunak.

“Minum apa dulu?!” Sisca berkacak pinggang. Anak ini mulai sinting lagi, pikirku.

“Oke deh, apa saja keluarkan. Jangan sungkan-sungkan. Sebagai tamu yang baik, akan kuhabiskan semuanya. Bukan begitu kemauan tuan rumah?” Aku juga mulai meladeni kesintingannya. Tabiatku yang lama, muncul lagi. Seperti dorongan id yang mendesak ke permukaan menurut teori si Psikoanalisis Freud.

“Bukan! Semprul …,” gerutu Sisca menghilang ke dalam. Sepuluh menit, ia muncul kembali dengan sebuah gelas kosong dan sebotol air es.

“Semprul! Kalau yang begini, tidak perlu pakai menawar segala,” omelku panjang pendek.

“Sori, deh. Aku lagi malas mengaduk macam-macam itu,” balas Sisca enteng.

“Kan ada Mbok Nah.”

“Huh! Kamu itu tamuku. Bukan tamu Mbok Nah. Semprul!” semprot Sisca. Ups, sudah berapa semprul kuterima hari ini. Sial betul.

“Kita ngomong serius lagi, Sis. Soal Andini,” kataku kalem, mengundang perhatiannya.

Sisca menghela napas. “Kau masih mencintainya?”

Aku terhenyak. Tak menyangka perkataan itu akan muncrat dari bibir Sisca–orang yang selama ini menjadi tempatku berkeluh kesah, terutama soal Andini yang tidak tertandingi olehku.

“Kau masih menyangsihkannya? Lalu , apa arti perubahan besar-besaran yang kulakukan. Bukankah ia menginginkan aku menjadi seorang cowok yang parlente, yang betah duduk membaca buku berjam-jam, yang tahu sopan santun, yang bicara dengan tata bahasa yang manis, yang … yah, segalanya.

Ini semua telah kulakukan, bukan? Dan kau juga turut mendukungnya. Lalu, apa arti pengorbananku selama ini, jika ia masih juga tak acuh tanpa merasa berdosa,” emosiku mulai terpancing.

Kulihat Sisca gelagapan.

“Sori, seharusnya aku tak bertanya soal itu. Aku …. “Sisca berkata dengan ekspresi wajah penuh penyesalan.

“Aku tidak tahu apa maksudnya ia mempermainkan aku …,” kataku lemas.

“Kurasa ia tidak bermaksud demikian. Mungkin ….”

“Jangan menghiburku, Sis. Tolong saja berikan alamatnya di Darmo Harapan itu.”

Sisca menarik napas. “Sebenarnya, aku pun tidak tahu. Namun … akan kucoba menelepon ke rumahnya. Kau tunggu beberapa menit,” ujar Sisca sembari membawa langkah-langkahnya menghilang ke ruang belakang.

Aku memejamkan mata. Aku kesal. Tubuhku penat. Inilah, barangkali, titik puncak kesabaranku. Perasaan kelaki-lakiannya pun mulai terusik. Ada perasaan tersinggung atau entahlah, perasaan sejenis lainnya.

Sudah pantas itu. Aku bukan anak kecil yang harus dibujuk-bujuk dengan umpan perman untuk mengerjakan sesuatu hal–sedangkan umpan yang diajukan itu hanyalah impian.

“Jangan melamun,” Sisca membuat kelopak matanya terkuak dengan suara girangnya. “Aku mendapatkannya. Tidak berlaku terlalu sulit ternyata, karena ibunya masih menaruh kepercayaan padaku.”

Aku tersengak. “Jangan menyindir. Bilang saja, orangtuanya tidak percaya lagi padaku.”

“Uts, jangan terlalu berprasangka. Siapa yang ngomong begitu? Jelek-jelek kan calon mer….”

“Hentikan kicauanmu. Aku tak suka godaanmu kali ini,” kataku sambil menyambar kertas memo yang digenggamnya. Kubaca sejenak deretan alamat yang tertulis dengan rapi. Kubaca kertas itu dengan penuh kemenangan. Akhirnya, sarangmu kudapat juga.

“Bas…,” suara Sisca pelan, tapi tatapan matanya tajam menembus manik-manik mataku. “Maukah kau menuruti kata-kataku … sekali ini saja?”

“Apa itu? Perlu kupertimbangkan dahulu.” Aku bertanya dengan perasaan tidak mengerti.

“Jangan kau sakiti dia, Bas.” Sisca mempermainkan jari-jemarinya dengan gelisah. “Kau perlu menyelidiki penyebabnya terlebih dahulu. Janganlah gegabah. Ia seorang wanita istimewa buatmu.” Sisca menarik napas panjang.

“Kalaupun kalian ingin berpisah, berpisahlah dengan baik-baik. Tunjukkanlah bahwa kau telah dewasa, baik dalam berpikir maupun bertindak. Bukan gaya pacaran anak ingusan lagi.”

Aku menatap masa Sisca. Ada keseriusan berlayar di bening bola matanya. Aku dapat memahami perasaannya. Dengan sesak aku membusungkan dada.

Kutarik napas sekian dalam. Aku menyambar kunci kontak. Berdiri dengan kaku kemudian melangkah ke teras rumahnya.

“Bas …?” Suara Sisca menghentikan langkahku.

“Akan kupertimbangkan dalam perjalanan nanti. Aku pamit ….”

Sisca mengangguk.

Ya, akan kupertimbangkan nanti–dalam perjalanan. Semoga udara sejuk, jalanan tidak macet, sehingga hatiku damai dan pikiranku jernih kembali. Berdoalah, Sis–aku pun ingin demikian.


SEORANG wanita separuh baya dengan pakaian kebaya menyambutku. Dengan tubuh sedikit membungkuk, ia menanyakan kepentinganku.

Kutanyakan nama Andini. Ia mengangguk sembari membenarkan dengan kalimat. Dibukanya pintu itu. Mempersilakan aku masuk hingga ke ruang tamu. Kemudian pamit dengan alasan memanggil nonanya itu.

Aku menyebarkan ke sekeliling ruang tamu. Ahai, Andini, kau tak dapat menghindarikan diri lagi. Kurancang kalimat yang hendak kuawali. Namun, buntu. Aku bukanlah orang yang pandai berbasa-basi.

“Oh! Kau ….”

Sesosok tubuh semampai berdiri di hadapanku. Hatiku bergejolak. Berbagai perasaan bercampur-aduk, yang tidak dapat kukenali atau memberi definisi.

Ia duduk dengan tenang. Entahlah kalau itu hanya dibuat-buat.

“Aku lelah mencarimu.”

Andini diam.

“Hampir seluruh perpustakaan di kota ini kujelajahi.”

Andini tak bersuara.

“Aku juga mencari ke rumahmu. Namun, mereka hanya mengangkat bahu.”

Andini masih juga diam.

Aku mulai kesal. “Minggu depan aku mendaki Rinjani!” kataku dengan suara keras. “Kau tidak bisu, kan?”

Matanya terbakar saat aku menyebutkan pendakian itu.

“Terserah kau ….”

“Ouw! Begitu enteng kau berkata?”

“Kularang pun kau akan berangkat juga.”

“Aku ingin mendengarnya.”

Andini membisu lagi.

“Apa yang kau inginkan dariku, hai penyiksa?” Aku mulai emosi. Kuberikan penekanan pada kata-kataku.

“Siapa yang penyiksa?” Andini mulai bereaksi dengan suara keras pula.

“Siapa lagi? Kau orangnya,” kataku ketus.

“Kau yang egois! Kau ….” Wajah Andini mulai memerah. Kutahu ia mulai sesak dengan emosi.

“Siapa yang egois?” Aku menantangnya. Memancing omongan selanjutnya darinya.

“Kau …!” tuduhnya.

“Kau! Jangan mugnkir.” Aku mencoba menahan amarahku. “Kau sok pengatur. Dengar, ketika kita mulai bersama, kau masih menginginkan aku mendaki beberapa kali. Namun setelah itu, kau melarangku dengan berbagai alasan, hal itu akhirnya kupenuhi pula dengan susah payah.

“Aku dapat menerima alasanmu dengan berpikir bahwa kau memberi perhatian padaku. Bahwa kau menyayangiku sehingga tidak menginginkan sesuatu terjadi padaku.

“Oke, itu masih dapat kuterima. Namun, apa perbuatanmu ketika aku mengubur mati hobi mendakiku. Ketika aku berubah, termasuk watakku yang kau anggap tidak baik, apa yang kudapatkan?

“Hm, kau menghilang, bukan? Kau menghindariku. Padahal, kau pasti mendengar teman-teman di kampus bahwa aku Bastian baru, yang telah berubah 180 derajat.

“Kenapa kau tidak memberi respons?” Aku menyelesaikan kalimatku dengan baik, meski dadaku bergelombang oleh gejolak emosi yang menyesakkan.

Andini menundukkan wajahnya. Kulihat ia mulai terisak.

“Kau menyesal, kan, bersamaku?”

Andini masih terisak.

“Aku tahu itu! Kau tidak tahan mendengar gunjingan-gunjingan anak-anak di kampus bahwa kau, seorang putri ayu, mau berhubungan dengan aku, ‘orang hutan’ yang tak tahu adat. Begitu, bukan?”

Isak tangis Andini makin keras. “A … aku … Bas ….”

“Jelaskan. Semuanya, jelaskan saat ini,” aku berkata dengan nada paksaan.

Andini meradang. “Apa hakmu memaksa-maksaku. Tinggalkan. Tinggalkan aku. Jangan seenaknya melukai dan merusak perasaanku. Kau … tidak punya pengertian.”

Aku tersenyum sinis. “Aku tak punya pengertian? Baik, aku akan tinggalkan kau. Aku tak akan mengusikmu lagi.”

Aku menyambar kunci dan melangkah meninggalkannya. Namun, di pintu rumah itu, tiba-tiba rasioku sedikit bekerja. Aku terdiam sejenak.

“Andini,” ucapku tanpa berharap ia menatapku. “Yang perlu kau ketahui sebelum aku meninggalkanmu,” aku terdiam lagi. Kerongkonganku terasa kering.

“Aku … masih mencintaimu. Aku tak tahu perasaanmu. Aku berangkat minggu depan. Kau masih punya waktu untuk mempertimbangkannya masak-masak. Kau masih bisa mencegah kepergianku.”

Aku meninggalkannya dengan dada plong.

Di langit sore, mega-mega tampak berarak. Mengumpul, mengecat langit jadi senja. Bergunung-gunung di sana. Namun, aku tak tahu hatiku ada di mana.*


Cerpen ini penah dimuat di majalah Anita Cermerlang No. 286, periode terbit 12-21 Desember 1988.

Ang Tek Khun
About the author

angtekkhun menulis di media cetak saat kuliah psikologi, berkarier di industri penerbitan, dan beralih ke media digital sebelum menggeluti integrasi media berbasis psikologi pembaca.

Tinggalkan komentar