Kolom (Jadi) Sketsa

SEMULA, saya ingin tampil gagah di sini. Pengin menulis kategori tulisan yang disebut kolom. Dalam bahasa Inggris, disebut column.

Menulis kolom itu enak. Anda bisa nggaya secara otentik. Seperti orang-orang penting. Misalnya, Catatan Pinggir di majalah Tempo yang identik dengan Goenawan Mohamad. Disway identik dengan Dahlan Iskan.

Kolom tumbuh di subur majalah dan koran. Tulisan jenis ini mirip dengan Tajuk Rencana di koran-koran. Jika di majalah, mungkin namanya Sapa Redaksi.

Masih di majalah Tempo, ada “kolom” lain yang tak kalah terkenal. Diasuh oleh Bondan Winarno, sebelum beliau terkenal sebagai pakar kuliner. Nama kolomnya adalah Kiat.

Kiat populer kala itu. Ketika dikumpulkan dan diterbitkan dalam format buku, banyak dicari orang. Di kolom Kiat Bondan menulis soal-soal manajemen dengan gaya populer.

Kolom sebagai jenis penulisan, ciri-cirinya sangat khas. Berdasarkan posisi penulis, kolom berisi opini pribadi penulis. Bersifat subyektif.

Ciri lain dari kolom adalah pendek-pendek dari segi jumlah kata. Di majalah biasanya dicukupkan hanya dalam satu halaman.

Kolom yang terdapat di koran-koran, ukurannya “hanya” sekotak. Biasanya diberi warna latar abu-abu dan/atau dipagari menggunakan garis hitam. Semacam teritori.

Ciri khas kolom, biasanya diberi nama tertentu. Nama itu umumnya melekat pada satu penulis. Meskipun ada juga nama kolom yang diisi secara bergantian. Satu kolom biasanya muncul seminggu sekali.

Selain Catatan Pinggir, Disway, dan Kiat yang disebutkan di atas, banyak kolom lain yang hadir di media massa Indonesia. Namanya beragam, misalnya Resonansi, Refleksi, Perspektif, dan Asal Usul.

Para penulis yang menulis kolom, punya sebutan khas. Mereka disebut kolomnis.

Kolom berdasarkan gaya nulisnya, sangat khas sesuai penulisnya. Ada yang terasa berat kala dibaca, banyak juga yang menggunakan bahasa populer dan mudah dipahami.

Setelah mengisi rubrik “Kolom” di blog ini dengan empat tulisan, saya tersadarkan akan pilihan gaya penulisan. Rupanya di masa lampau, saya telah memilih gaya yang santai.

Berdasarkan “temuan” ini, saya berpikir ulang untuk mencari nama lain yang lebih sesuai. Pilihannya muncul begitu saja di benak: Sketsa. Dan berketetapan, panjangnya sekitar 350 kata.

Maka, sejak tulisan ini diunggah, saya mengganti Kolom dengan nama Sketsa. Rasanya pilihan lebih bagus sih, agar tidak dipersepsi sebagai tulisan berat. Dan, saya terbebas dari beban “elo sok deh”. []

Ang Tek Khun
About the author

angtekkhun menulis di media cetak saat kuliah psikologi, berkarier di industri penerbitan, dan beralih ke media digital sebelum menggeluti integrasi media berbasis psikologi pembaca.

8 pemikiran pada “Kolom (Jadi) Sketsa”

  1. mungkin kalau di koran lebih mirip seperti rubrik opini atau surat pembaca ya
    bebas beropini apa aja, dan memang nggak terlalu banyak kata-kata juga, asalkan padat dan jelas dan maksud dari artikel juga bisa tersampaikan dengan baik

    Balas
  2. Sepanjang baca Majalah Tempo, kudu berulang kali baca Catatan Pinggir baru paham. Ohhh begituuuu. Kudu baca tenang sembari meresapi. Kecuali tulisan GM soal bahasa alay. Baru baca langsung paham.

    Selain kolom Catatan Pinggir, ada kolom Bahasa. Ini gak pernah saya lewatkan. Rasanya senang menemukan hal baru yang bisa dipelajari ketika baca Bahasa. Penulisnya tidak hanya satu orang, berganti-ganti. Kadang pakar dari luar Tempo, kadang penulis senior di Tempo.

    Balas
  3. Memang beda jika bekgronnye seorang jurnalis atau kolumnis ya Bang, terkadang banyak hal danb pengetahuan baru didapatkan dari hasil buah pikirannya. Salah satu contohnya dari artikel ini. 🙂

    Balas
    • Sebenarnya saya tidak punya latar kerja atau pendidikan jurnalistik atau komunikasi. Saya belajarnya psikologi. Cuma suka membaca, gitu.

      Untuk jenis Kolom, memang jurnalis biasanya lebih ungguh sebab mereka memeroleh info A1 atau punya koneksi dengan banyak orang penting sebagai narsum seperti Dahlan Iskan.

      Btw terima kasih sudah mampir di sini.

      Salam dari Jogja.

      Balas

Tinggalkan komentar