HAI, SAYA KHUN. Jleb! Saya diturunkan oleh Tuhan ke bumi di tengah keluarga bermarga “Ang”. Itu sebabnya saya menyandang nama dengan tiga suku kata, “Ang Tek Khun”. Hm, dari mana ide nama saya berasal? Tampaknya nama ini diperoleh orangtua saya atas saran seorang tetua di kota kelahiran saya, Donggala.
Di kota kami memang ada seorang tetua. Badannya, berisi dan tegap. Kepalanya gundul. Mirip para suhu di Shaolin. Ke mana-mana ia selalu membawa tongkat. Kepadanya kerap kali warga Tionghoa di Donggala memohon nasihat dan kebijaksanaan atas pertanyaan-pertanyaan pelik yang dihadapi dalam hidup. Termasuk, meminta nama bagi bayi-bayi yang baru lahir. Sesekali, saya juga melihat tetua itu memeriksa denyut nadi tangan seseorang. Untuk mendiagnosa kondisi kesehatan yang bersangkutan dan menyarankan pengobatan baginya.
Nama saya, hanya satu itu. Saya tidak punya nama Indonesia. Mengapa? Bukannya akan terbaca gagah? Alasannya sederhana, sebab mengurus ganti nama itu sungguh refot, selain sulit, reseh, dan makan biaya yang tidak kecil. Jika saya memaksakan kehendak dan meminta untuk diuruskan oleh ayah saya, tentu akan merepotkan dan mempersulit hidup keluarga saya.
Proses birokrasi yang harus ditempuh untuk urusan ini, panjang dan tak terukur lika-likunya. Dokumen yang harus diurus, dimulai dari kota Donggala, lalu geser ke Palu (ibukota provinsi), sampai akhirnya ke ibukota negara (Jakarta).
Soal waktu, sudah tentu tidak secepat menghitung hari atau minggu. Ada bentang bulan yang panjang tak terhitung.
Mengenai biaya, saya sendiri yang merasa tidak mentolo untuk meminta pengeluaran ekstra dengan bujet besar hanya untuk kepentingan saya yang “enggak jelas” waktu itu.
Sombong
HAI, SAYA KHUN. Ang Tek Khun. Panggil “Tek Khun” juga boleh–kalau agak panjang. Nama marga, hanya kata di depannya, dalam satu kata.
Saya seorang yang bertumbuh dengan sifat pemalu yang “parah”. Saya peminder dan kurang gaul. Sudah kebayang, kan, seseorang yang terjebak dalam pilihan-pilihan sulit dan “terbatas”. Jika masuk di sebuah ruangan, misalnya, tempat duduk favorit saya adalah sisi kiri paling belakang.
Semasa SMA, saya dimusuhi seorang cewek. Ia sebelin saya dengan kata sombong! Diri saya barulah dia ngertiin saat di bangku terakhir SMA, jelang kami lulus dan berpisah. Dia enggak tahu sih rahasia ini: Mana berani saya menatap wajah cewek. Berpapasan saja, telapak tangan saya sudah basah. Itu sebabnya saya memilih membuang pandang, yang diartikan olehnya sebagai “melengos angkuh”.
Saya jarang difoto, dan enggan mematut-matut diri di cermin. Doeloe, lebih parah lagi. Setiap (akan) sesi foto, di acara apa pun, saya sudah lenyap ditelan bumi. Dicari pakai Google pun enggak akan ketemu. Satu-satunya foto diri yang bikin saya takjub saat besar, itu adalah pasfoto yang tertempel di buku rapor SD saya.
Jadi, sekarang pada ngerti ya mengapa saya “enggak mungkin” jadi Vloger, mengapa kanal YouTube saya belum diisi. Kalau “main” siniar (podcast) masih mungkin sih, tapi suara saya tidak begitu mendukung. Amat bleeberponic, ujar telinga kiri saya. Meski sesekali saya pernah juga menjadi narsum rutin topik psikologi di mata acara sebuah radio.
Oya, saya sebenarnya paling enggak suka menulis bio seperti ini. Di salah satu blog lama saya, di page About Us, saya menulis begini:
Di sini, tak ada yang penting tentang saya. Tahukah Anda bahwa yang terpenting adalah kamu? Maka, pulanglah… kembali ke dirimu. Ke lubuk hatimu yang terdalam. Namun, apabila kau lupa alamatmu, cukup duduk. Ambil waktu sejenak untuk merenungkanmu. Maka, kau akan selamat sampai di tujuan. Selamat mencoba…
Bikin sebal aja kan bacanya? Hahaha. Yaudah, saya disambit aja.
Sekarang, saya mulai bisa membiasakan diri. Mengikuti era media sosial dan dunia influencer. Dan juga, demi meninggalkan jejak untuk suatu waktu dibaca oleh anak dan cucu atau keluarga dan teman dekat saya–seperti Anda yang lagi baca ini.
Maka, demikianlah adanya. Terbitlah page ini dengan susah payah.
Cancer
HAI, SAYA KHUN. Ang Tek Khun. Berasi bintang Cancer, dengan tipe kepribadian Melkol. Cenderung perfeksionis, dan introver– tapi hangat dong pada orang-orang se-“frekuensi”.
Sebagai informasi, saya jatuj cinta pada teks (narasi) dan visual dengan gaya (style) Romantik. Ulang, ya: Romantic as style. Monggo baca penjelasan tentang hal ini di Wikipedia ini. Lumayan nambah wawasan.
Kekuatan tangan saya, kanan; maka selayaknya kekuatan otak saya adalah kiri. Namun ini dia yang terjadi, kekuatan otak kanan saya ternyata strong! Aduduh! Orang dengan jenis ini menderita banget sepanjang hidupnya. Di benaknya senantiasa terjadi Perang Kurusetra (mengacu pada Kurukshetra, padang pertempuran Baratayuda dalam kisah Mahabharata). Ya sih, perang itu berlangsung sejak saya bangun hingga mata terpejam.
Agar Anda lebih mudeng akan topik ini tanpa harus repot gugling sana-sini, buru-buru saya tambahkan di sini. Otak kiri itu berisi (kemampuan) bahasa, analisa, logika, angka, rasionalitas, obyektivitas, realistis, detail. Sementara otak kanan dipenuhi oleh kreativitas, konseptual, seni/musik, gambar/warna, dimensi, emosi, imajinasi, intuisi.
Begitulah kisahnya mengapa saya tampak kuat di “konsep dan strategik based on human feel (emotional) and experience“. Halah! Apaan, tuh?
Donggala
HAI, SAYA KHUN. Ang Tek Khun. Saya lahir di Donggala, sebuah kota kecil di bibir Teluk Palu (Sulawesi Tengah). Saya patut berbangga, sebab nama Kota Pelabuhan ini terabadikan di permainan Monopoli–dan sejumlah buku termasuk novel karya Buya Hamka, berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Kota tua ini punya sejarah panjang. Pada awal abad 20, tahun 1905 misalnya, Donggala pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda. Pada waktu itu, Gubernur Jenderal W. Rooseboom yang memegang kekuasaan di Batavia.
Saya lahir ketika Permesta telah berlalu, setelah Ray Sahetapy lahir dan sebelum Pasha Ungu brojol di Donggala. Saat kota ini masih gemebyar dan terkenal sebagai bandar (pelabuhan) yang sibuk. Perekonomian hidup, rotan dan kopra dan hasil bumi lainnya, masih menjadi komoditi semarak.
Donggala, yang terbaring di antara perbukitan dan laut, saat itu adalah kota yang hangat. Usai jam operasional pasar tradisional, penangkap ikan yang baru dari laut, menjajakan hasil tangkapannya dengan cara dipikul berkeliling kota. Fresh. Ada aneka ikan, teripang, cumi, dan lainnya. Kadang ada penyu hidup dan telur yang dijual per butir.
Jika siang tiba, banyak toko tutup. Para pekerja pelabuhan, sering kali makan dan rehat ngopi di warung kopi “Nagaya” di pusat kota. Jika ingin mencari seseorang, datang saja ke warung itu. Sementara pada malam hari, terutama saat purnama tiba, anak-anak riuh bermain di tepi jalan–bahkan memakan seluruh ruas jalan bila bermain Gobak Sodor.
Psikologi
HAI, SAYA KHUN. Ang Tek Khun. Menyelesaikan SD dan SMP di Donggala, sebelum ke Surabaya untuk menjemput pendidikan jenjang SMA dan Perguruan Tinggi. Masa SMA adalah masa yang sulit bagi saya karena merantau ke kota yang lebih besar, kompleks, dengan jalur transportasi yang tidak mudah, dan pendidikan yang hampir menyerah untuk saya kejar.
Usai itu, saya memilih kuliah di Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya (Ubaya). Keputusan ini gara-gara membaca dan pengaruh majalah Gadis. Majalah remaja top itu selalu menampilkan artikel psikologi populer yang menawan. Di majalah itu sering tampil sosok Sarlito Wirawan Sarwono dan Ami Sjamsidar. Dan, ada kartunis idola, namanya “Si Jon“.
Pada masa kuliah inilah saya banyak menulis. Terutama cerpen dan puisi untuk majalah, tabloid, dan koran. Artikel dan berita-berita pendek untuk koran di Surabaya dan koran nasional di Jakarta. Inilah masa ketika saya menikmati honor dengan sistem kirim uang bernama Weselpos.
Editor
HAI, SAYA KHUN. Ang Tek Khun. Saya suka warna biru. Khas banget sebagai warna lelaki dalam teori psikologi. Pekerjaan formal dan nonformal saya, adalah editor. Sejak turut mengasuh majalah sekolah di SMA. Profesi ini pula yang mengantarkan saya pindah ke Yogyakarta.
Jika disuruh memilih, atribut apa yang menjadi passion saya, editor atau penulis/pengarang, jelas jawaban saya adalah Editor. Pilihan yang tidak populer? Mungkin saja. Namun seorang penulis senior pernah menelepon saya dari Jakarta, untuk meyakinkan bahwa “yang berperan dalam persalinan, bukan hanya dokter kandungan. Ada suster. Editor itu, mirip pekerjaan seorang suster. Hanya saja, editor membantu persalinan bagi lahirnya karya tulis.”
“Karier” editor saya dimulai saat turut mengasuh majalah sekolah, kemudian menerbitkan buletin sastra, membantu buletin komunitas, sebelumnya akhir menjadi editor buku-buku komersial di penerbit mayor.
Sesuai dengan sifat, karakter, dan tipe kepribadian saya, editor adalah pekerjaan di balik layar. Saya suka. Maka, ketika bertemu dengan orang yang memuji dan membicarakan nama terbitan kami yang 150.000 eksemplar saban bulan, mata saya hanya berkeriap. Juga saat jumpa orang yang menggunjingkan Anak Kos Dodol karya Dewi ‘Dedew’ Rieka dan My Stupid Boss karya D***, saya hanya senyum.
Oya, ini juga kesempatan yang baik bagi saya untuk berterima kasih kepada orang-orang kunci dalam perjalanan menulis. Pertama adalah sosok di balik koran Sinar Harapan, M. Poppy Donggo Hutagalung yang saat itu mengasuh halaman Anak dan Remaja; yang untuk pertama kalinya saya yang imut-kyut menerima honor puisi disertai lampiran faktur bukti pemotongan pajak.
Berikutnya adalah Adek Alwi di majalah Anita Cemerlang, yang membukakan pintu bagi saya untuk menulis cerpen. Agus Dermawan T, yang mengasuh rubrik puisi di majalah Gadis–di sini kali pertama saya mendapatkan honor puisi yang jumlahnya gede!
Ada nama Nani Wijaya dari Jawa Pos, yang suatu waktu pernah mengasuh rubrik Muda; yang suatu ketika pernah membawa kami ke alam terbuka di Kebun Raya Purwodadi (Jatim) dan memberi tantangan. “Ayo tuliskan acara kita, yang terbaik akan dimuat dan dapat suvenir spesial dari saya.” Maka di suatu pagi saya berjingkrak bahagia dan ke kantor Jawa Pos di Jalan Kembang Jepun untuk menerima suvenir yang dijanjikan.
Nama terakhir, saya agak lupa (apakah Bu Umi?). Beliau adalah Sekretaris Redaksi Surabaya Post, yang dalam periode tertentu, saban bulan saya datangi untuk mencairkan honor buat bayar kuliah dan jajan.
Volunteerism
HAI, SAYA KHUN. Ang Tek Khun. Saya berkomunitas sejak awal kuliah, dan berlanjut hingga sekarang. Berkomunitas membuat saya mengenal banyak pribadi dan tipe kepribadian, beserta sifat dan karakternya. Dengan bekal ilmu psikologi dan cara berpikir psikologis, serta bertahun-tahun menjalankan fungsi Human Resource, membantu saya mampu “melihat seseorang sebelum ia bicara”.
Yang paling berdinamika bagi pertumbuhan saya di dunia literasi adalah saat turut menumbuhkan komunitas Himpunan Pecinta Cerpen dan Puisi (HPCP) Surabaya. Pada masa ini, sepertinya semua pengarang muda Surabaya kami rangkul dan bergiat. Sebagian besar mereka adalah nama-nama yang kerap muncul di berbagai majalah dan koran nasional.
Markas kami saat itu, di beranda gedung Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan pentas di Bengkel Muda Surabaya (BMS)–di tempat ini pula saya mengenyam belajar teater. [Ini lokasinya di depan Kedai Es Krim legendaris Surabaya, Zangrandi] Di kedua tempat ini kami banyak berjumpa sastrawan ternama. Paling berkesan, tentu saja penyair Zawawi Imron dari Batang-batang (Madura). Beliau menemani kami dalam diskusi panjang.
Oya, di DKS ini pertama kali saya jumpa Arswendo Atmowiloto. Sangat berkesan karena hanya beberapa saat setelah tulisan pertama saya muncul di majalah Hai. Saat berjabatan tangannya, pandangan mata beliau berbinar-binar. Bahasa tubuh itu, adalah apresiasi tertinggi bagi seorang penulis pemula.
Panggilan jiwa “volunteerism” tak pernah padam hingga kini. Konseling probono man-to-man adalah kesukaan saya. Apalagi kalau didukung dokumen hasil tes psikologi. Aha! Nikmatnya memasang “jebakan betmen” dalam rupa pertanyaan yang diajukan.
Saya suka nonton film, karena itu adalah cara cepat “membaca cerita”. Namun, saya menonton secara selektif. Saya suka masakan Jawa Timur dan Manado, atau masakan lain ala olahan keduanya. Paling suka, tentu Pecel Madiun, sesekali Soto Lamongan dan Rujak Cingur. Oya, pernah sekali saya di Madiun. Makan sehari 3x dengan menu Pecel Madiun di warung berbeda.
Buku
HAI, SAYA KHUN. Ang Tek Khun. Ini penggal terakhir yang ingin saya tulis, bagian tentu buku.
Buku punya arti besar buat saya. Toko buku adalah satu-satunya tempat hiburan yang paling banyak dan sering saya datangi, di mana pun–dalam dan luar negeri. Sebab, di awal karier saya sebagai editor, saya kerap membaca, mendengarkan, dan menerima surat berisi testimoni mereka tentang bacaan yang mengubah hidup mereka.
Tentang berkarya di isi buku, saya turut menulis di banyak buku antologi, yang enggak usahlah dituliskan di sini. Sementara untuk buku solo (pribadi), kalau tidak salah, hanya ada lima–satu di antaranya, yang malu saya sebutkan judulnya di sini, mencapai national bestseller.
Kelimanya adalah The Wings of Love, The Path of Love, dan tiga buku lainnya. Kedua buku yang saya sebutkan judulnya ini, hingga kini masih dicari orang. Itulah long tail sebagaimana dibahas Chris Anderson dalam bukunya, The Long Tail: Why the Future of Business Is Selling Less of More.
Seorang dari Tangerang berkisah, terpaksa membeli The Wings of Love yang prelove di marketplace. Seorang dari Jakarta, melalui pesan Facebook, meminta izin untuk mencetak Print on Demand (PoD) buku The Path of Love untuk dibagikan sebagai hadiah Paskah April 2021. “Saya dulu memborong saat masih tersedia di toko,” ujarnya.
Udahan, yuk
Yah, begitulah penggal-penggal kisah ini. Segini saja, ya.
Oya, saya baru saja membuat blog khusus untuk menulis segala hal tentang Jogja. Monggo mampir klik saja kata-kata berwarna ini 😉
Makasih ya telah sudi membacanya. Sesekali, mampir lagi ke sini, sebab page ini akan terus dimutakhirkan (update). Siapa tahu bakal ada nama Anda dikisahkan di sini.
Xie xie!