Hari-hari Terakhir Karta Pustaka Yogyakarta

Yogyakarta pernah memiliki Karta Pustaka yang monumental. Pada masanya Karta Pustaka sangat dikenal dengan perpustakaannya. Ketika ditutup pada pengujung 2014, Karta Pustaka menjadi pemberitaan media massa dan media sosial secara nasional.
_

PUSAT Kebudayaan Yayasan Karta Pustaka didirikan pada 1967, dan secara resmi membuka perpustakaannya untuk publik pada 11 Maret 1968.

Pada hari-hari terakhir, koleksi bukunya ditawarkan kepada masyarakat umum dengan harga murah. Saya sempat berkunjung ke ke sana dan menuliskannya di Kompasiana.com.

Tulisan tersebut menggunakan judul “Sowan Terakhir ke Karta Pustaka”. Tayang di Kompasiana.com pada 5 Desember 2014 dan ditampilkan sebagai Artikel Utama.

Saya memigrasikan tulisan tersebut ke blog pribadi ceritakhun.com ini untuk menyimpannya sebagai aset digital yang bernilai dokumentatif.

Dalam proses migrasi ini, saya memanfaatkan kesempatan untuk melakukan penyuntingan minor. Sekaligus melangsingkan paragraf gemuk dan memberi sub-subjudul untuk keperluan tampilan Daftar Isi.

Selain itu, saya memutuskan untuk menyalin pula komentar-komentar Kompasianer yang relevan. Tujuannya, untuk memberikan gambaran kepada pembaca hari ini bagaimana Karta Pustaka memberi dampak luas dan sangat dicintai.

Kiranya konten ini cukup bernilai dan membuka wawasan buat baru tahu tentang salah satu kekayaan yang pernah dimiliki Yogyakarta. Selamat membaca, monggo bila ingin meninggalkan kesan atau pesan.

Sowan berliku

LANGIT Yogyakarta yang murung, menjadi kanvas yang membingkai kesedihan saya hari ini. Headline harian Kompas mengabarkan bahwa Karta Pustaka resmi menghentikan operasionalnya.

Diberitakan pula bahwa buku-buku koleksi perpustakaannya di hari-hari penghabisan, sedang ditawarkan kepada masyarakat umum untuk dihabiskan. Para peminat diberi kesempatan hingga Minggu, 6 Desember 2014.

Di manakah lokasi Karta Pustaka sekarang? Saat awal memasuki Yogyakarta, saya menandainya berlokasi di Jalan Suroto. Jalan itu bernilai tinggi di kawasan yang dikenal sebagai Kota Baru.

Saya pernah mencari buku di perpustakaan Karta Pustaka ini. Lalu, saya mengenali kepindahannya. Tak jauh dari tempat semula. Sebelum akhir menepi ke Jalan Bintaran Tengah.

Ke jalan inilah saya bergegas pergi. Dan, sempat mengitarinya sebanyak tiga kali dengan semangat pantang menyerah untuk menemukannya. Namun, tetap saja Karta Pustaka tidak bisa saya jumpai di sini.

“Pak, tahu di mana Karta Pustaka?” tanya saya kepada seorang lelaki penunggu warung tenda.

“Di sana, Mas,” jawabnya sambil menunjuk ke arah Jalan Bintaran Tengah.

Saya menggeleng dan menjelaskan hasil pencarian saya tadi.

“Kemaren, ada seorang perempuan yang juga mencari Karta Pustaka,” jelasnya.

Saya lalu membuka ransel dan mengecek harian Kompas. Ups! Jelaslah, saya yang lalai. Di takarir foto disebutkan nama jalan yang berbeda.

Sekadar memastikan, saya menanyakan letak nama jalan itu kepada si Bapak.

“Daerah Alun-alun Selatan, Mas,” demikian lelaki itu memberikan konfirmasi.

Saya bergerak ke belahan wilayah selatan dan memasuki Jalan Bantul. Lalu berhenti sejenak saat bangjo menyala merah, sebelum mengambil belokan ke kiri—ke arah timur.

Di Jalan Suryodiningratan, saya menjumpai sebuah rumah berhalaman cukup luas. Atau dalam bahasa lain, halaman luas berumah kecil. Papan identitasnya menegaskan bahwa saya tidak salah alamat.

Ada lebih dari lima sepeda motor terparkir di halaman dalam, di depan bangunan rumah itu.

Sebelum menginjakkan kaki di teras, saya sempat menarik napas panjang. Usai melewati pintu, saya disambut hamparan buku di atas meja panjang. Di belakangnya, tampak rak yang juga ditempati buku-buku.

Panorama inilah yang saya lihat sebagai foto utama di harian Kompas hari ini. Hanya saja, buku-buku yang tersedia di atas meja, sudah tidak sebanyak yang dipotret jurnalis Kompas.

Dalam buntelan dan satuan

Buntelan-buntelan buku di atas meja dan di rak, diikat rapi dengan tali rafia. Setiap ikat berisi 7 hingga 10 eksemplar, masing-masing ditambahi keterangan pada secarik kertas putih.

Saya tersenyum melihatnya. Sebab di kertas putih itu yang dibubuhi tulisan tangan “Roman Belanda”, ditambahi dengan riasan emoticon. Setiap ikat dijual dengan harga Rp20.000.

Di tengah kesibukan melayani pembayaran, Mbak Endah, salah seorang staf Karta Pustaka, sempat melayani percakapan yang saya inisiasi.

“Mbak, tidak bisa diusahakan bantuan dari pemerintah Belanda?” tanya saya dengan wajah lugu.

Mbak Endah menjelaskan, kondisi ekonomi negeri Belanda serta perkembangan zaman, telah mengubah prioritas perhatian mereka. Apalagi sejak awal Karta Pustaka adalah sebuah lembaga nirlaba yang mandiri.

Tak ingin larut lebih dalam dan menyita waktu Mbak Endah. Saya melangkah ke bagian belakang rumah. Saya disambut sebuah koridor dan dua ruangan tempat menaruh buku-buku nonfiksi.

Sekelompok kecil pengunjung, tampak menyimak judul-judul buku. Seorang asing saya dapati sedang memotret sampul sebuah buku. Di akhir kunjungannya, saya lihat orang asing itu membeli dua-tiga judul buku.

Berbeda dengan yang tersaji di ruang depan, di sini buku-buku berhamburan di atas meja tanpa ikatan. Menyimak sebuah daftar, saya dapati kisaran harga jual per eksemplar antara Rp2.000 hingga Rp10.000.

Puas berkeliling dan mengabadikannya dengan kamera, saya undur diri dengan perasaan nglangut. Saat hendak meninggalkan rumah ini, sebuah mobil menepi. Dua perempuan muda melangkah masuk.

Kini giliran mereka yang akan mengalami perasaan yang mungkin tak berbeda jauh dengan perasaan yang menyelimuti saya saat ini.

Sekilas kisah

Pusat kebudayaan Yayasan Karta Pustaka didirikan pada tahun 1967 oleh nyonya E. Th. Simadibrata-Piontek, Pater Theodore Geldorp (Dick Hartoko, SJ.), Drs. Soepojo Padmodiputro, MA., dan Pater H. M. L. Loeff, SJ..

Pada awalnya, Karta Pustaka hanya menjadi tempat untuk belajar (kursus) bahasa Belanda. Dirintis oleh Nyonya E. Th. Simadibrata-Piontek.

Romo Dick Hartoko kemudian mengusulkan agar dibuatkan yayasan. Dan, tidak hanya bergerak dalam kegiatan kursus. Namun juga perpustakaan, serta kerja sama budaya antara Belanda dan Indonesia.

“Akhirnya Ibu Simadibrata mendatangi Kedutaan Belanda untuk bekerja sama. Lalu, dibuatlah jadwal kerja selama 50 tahun dalam hal penyeimbangan hubungan Indonesia-Belanda,” tutur Anggi Minarni, Direktur Karta Pustaka.

Di laman Erasmus Huis saya mendapati informasi bahwa pada 2003, Yayasan Karta Pustaka pernah merumuskan ulang tujuannya dengan:

• Penguatan persahabatan antara Indonesia dengan negeri Belanda melalui kebudayaan.
• Memfasilitasi kegiatan pendidikan masyarakat melalui kebudayaan dan kesenian.
• Mendorong upaya-upaya pelestarian warisan budaya.

Nama Karta Pustaka memiliki arti “perpustakaan yang berkembang”. Pada saat laman web itu diunggah, Karta Pustaka tercatat mengoleksi sekitar 9.000 judul buku. Sebagian besar adalah buku-buku kebudayaan.

Pada 2009 tercatat sebanyak 4873 orang telah memanfaatkan perpustakaan ini. Mayoritas adalah mahasiswa dalam rentang usia 19-35 tahun, serta para peneliti.

Pembelajaran bahasa Belanda di Karta Pustaka dilayani melalui kelas reguler maupun privat. Pada 2009 terdapat 198 peserta kursus.

Peserta kursus ini terdiri dari para mahasiswa, pegawai biro perjalanan, serta orang-orang yang telah menikah dengan pasangannya yang orang Belanda.

Di antara peserta kursus itu, terdapat 16 orang yang telah mengikuti ujian dari CnaVT dari Nederlandse Taalunie (Persatuan Bahasa Belanda).

Bagi Anggi Minarni, penutupan Karta Pustaka seolah sudah “garis sejarah”. Ini bila dilihat dari visi-misi utamanya, yakni menyeimbangkan hubungan Belanda-Indonesia lewat kebudayaan setelah kemerdekaan Indonesia.

“Visi-misi disusun dalam jadwal 50 tahun. Sekarang, cita-cita itu sudah tercapai. Enggak ada jarak dan problem lagi berkitan dengan hubungan Indonesia-Belanda. Ada kebebasan saling kunjung di antara dua negara,” katanya.

Namun perasaan kehilangan tetap tak terhindarkan.

“Sungguh ini peristiwa mengejutkan. Sepertinya kita ditinggalkan sahabat yang mati mendadak,” tutur budayawan Landung Simatupang kepada Kompas.

Karta Pustaka adalah tempat berkiprah bagi Landung pada masa mudanya. Beberapa orang lainnya juga sempat menyatakan perasaan senada melalui media sosial.

Cerita akhir

Buku-buku koleksi perpustakaan telah ditawarkan kepada masyarakat umum semenjak Senin, 1 Desember 2014.

Bersama penjualan aset lainnya, diharapkan dapat memeroleh dana yang cukup untuk memberi pesangon kepada para karyawan yang diputus hubungan kerja.

Dari Mbak Endah saya mendengar bahwa ketiga guru yang mengajar bahasa Belanda, akan melanjutkan profesi mereka melalui wadah lain.

Bagaimana dengan Mbak Endah sendiri? Ia menjawab secara samar bahwa hendak melanjutkan hobinya.

“Hobi apa, Mbak?” tanya saya spontan.

Ia terdiam, matanya tampak menerawang.

Sebuah jawaban yang cukup bagi saya untuk pamit darinya.

Komentar-komentar Kompasianer

Anita Godjali:
Sangat prihatin dan terus terang saya sangat sedih karena di tempat ini pula dahulu saya harus mencari sumber bacaan dalam penulisan makalah dan skripsi. Kenapa tak ada kepedulian dari pemerintah setempat untuk membantu melestarikan tempat ini? Teima kasih Sdr. Ang – Salam kenal.

Marlistya Citraningrum:
Sedih 🙁

Adrianus S.:
Saya turut prihatin kadanya penutupan itu…. namun mungkin karena minta dalam bahasa Belanda sudah sangat sedikit .. sehingga tidak bisa mencukupi untuk membiayai tenaga/karyawanya….

Mengapa pemerintah tidak ambil alih?

Erna Manurung:
Hai Khun, sayang sekali ya? Empat tahun bolak-balik ke Jogja saya selalu nggak sempat mau ke sini. Nggak tahunya ditutup. jadi, satu demi satu kenangan di kota ini hilang ya? semoga buku2 fisik itu sempat discan atau apalah itu namanya supaya ada arsipnya. Dulu saya tahunya nama penyimpannya di microfilm.

Jadi teringat koleksi klippping koran di rumah yang sudah belasa tahun dikumpulkan. apa masih berguna ga ya klipping koran kalau sekarang serba online begini.

Teguh Hariawan:
hilangnya salah satu tonggak memori kebudayaan…. ikut prihatin

wah jgn2 ada buku2 langka krya arkeolog Damais, Sttuterheim, Van Romond di sini…. sayang jauh

Enny Soepardjono:
Mas Ang, waktu sy kuliah di Yogya dan kost di Jl Sudirman, bersebelahan persis dgn Karta Pustaka, dan kadang nonton film2 yg diputar di sana… sedih dengarnya.. salam

Jati Kumoro:
berita yg mengejutkan, subgguh tak menyangka jika akhirnya Karta Pustaka harus berakhir seperti ini. terakhir kali mengunjungi Karta Pustaka utk menonton festival musik di tahun 1990-an, masih di Sudirman lokasinya, kebetulan juga dekat dengan rumah eyang yg selalu mendapat undangan jika KP mengadakan acara di jaman itu.

salam kaget dan sedih.

Kiara Wael:
keren ulasannya , vote HL
salam malam mas khun 🙂

Fandi Sido:
Sayang sekali…. Setahu saya, Pak Khun, di seputaran Kotabaru sekarang banyak gedung yang direvitalisasi untuk arsip-arsip berupa buku, bundelan kertas sampai digital. Saya pikir kenapa buku-bukunya tidak dilego ke sana saja ya? Kan mumpung pemerintah kota sedang giat-giatnya revitalisasi perpustakaan.

Kurang paham latar sejarahnya sih, tapi saya pikir daripada bubar… sementara masyarakat masih butuh….

Ang Tek Khun
About the author

angtekkhun menulis di media cetak saat kuliah psikologi, berkarier di industri penerbitan, dan beralih ke media digital sebelum menggeluti integrasi media berbasis psikologi pembaca.

4 pemikiran pada “Hari-hari Terakhir Karta Pustaka Yogyakarta”

  1. Sayang sekali, perpustakaan Karta Pustaka harus usai sampai di sini. Jika ditelisik memang tugas Karat Pustaka memang telah purna. Ke depannya semoga ada pihak yang memperbarui visi misinya, sehingga bisa kembali membangkitkannya.

    Balas
  2. Sayang sekali ya nasib karta pusaka, buku bukunya semakin berkurang, apalagi tidak banyak yang tahu perihal sejarah, peran kasta pustaka makin menambah semakin pudarnya kasta pustaka

    Balas

Tinggalkan komentar