KENANGAN selalu meminta pintu bagi jalannya untuk keluar. Kerap kali tanpa mengetuk, datang bergegas. Sesekali, menyusup perlahan dan sabar menempuh jalan sempit. Hingga ia mendapatkan udara untuk mengembangkan sayap-sayapnya.
Sesekali pintu itu serasa berhasil dikunci, sebegitu rapat. Seolah ia beku semenjak musim dingin yang telah berlalu. Namun, entah mengapa. Hanya masalah waktu baginya untuk kembali menggeliat. Dan, menemukan jalan keluar.
Kali ini, aku mencoba mengalihkannya dengan menangkup air dan mengibaskannya ke wajah. Brrr. Rasa dingin menyerbu. Hm, lumayan. Meski agak repot sedikit, mengelap percikannya yang memenuhi sekitaran wastafel.
Kuhempas tubuh ke sofa, menghidupkan koneksi IndiHome, lalu tenggalam di dalamnya yang menjanjikan aktivitas tanpa batas.
Image ilustrasi: Pixabay
Fly me to the moon
Lagu Frank Sinatra ini, selalu menajdi favorit. Membekap banyak bulan remang di masa lampauku. Hampir pada setiap malam. Saat ayah tiba-tiba banyak di rumah.
“Mulai sekarang,” ujar Ibu menjelang aku mengakhiri malam, usai mengerjakan PR esai Bahasa Inggris. Tugas dari Ibu Pratiwi untuk dikumpulkan esok pagi.
“Mulai sekarang,” Ibu mengulang perlahan. “Hari-hari Dinnie enggak akan sepi lagi. Ayah enggak akan pergi ke mana-mana selama berhari-hari, dan berlarut-larut malam.”
Aku menatap wajah Ibu untuk menebak ujung kalimat. Ibu sangat tahu bagaimana luka hatiku terlampau parah menjalani hari-hari tanpa kehadiran Ayah.
“Ayah akan punya banyak waktu untukmu, Dinni.”
Aku terdiam. Ibu tak punya kata-kata lagi. Detak jam terasa makin berat.
Sejak itu, aku pun perlahan tahu, ayah telah mengakhiri kariernya. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan resesi global, bukanlah sekadar judul berita yang belakangan ini kerap lewat saat aku membuka media sosial. Sekaligus, pendar cahaya lilin impianku untuk menginjak jenjang kuliah, perlahan sirna.
Fly me to the moon
Let me play among the stars
Lagu ini yang tertinggal ketika ayah meninggalkan kami sekeluarga. Pas ketika aku mengakhiri kelas dua SMA dan ibu mulai kerja sif malam.
Di tanah yang masih basah itu, aku serasa patah tulang. Diguncang antara menyerah atau mencari jalan untuk kuat dan menggapai yang tertinggi.
“Kamu harus tetap melanjutkan kuliah. Ingat janji yang pernah kita ikrarkan. Kita akan mengajukan beasiswa dan menaklukkan benua asing sebelum kembali ke tanah air,” ujar Tristan perlahan tetapi penuh tekanan pada setiap kata.
Kami tetap belajar bersama secara berkala. Memperbanyak kosa kasa, memperlancar kalimat-kalimat. Bukan hanya untuk kepentingan TOEFL, melainkan juga untuk bekal mencari kerja sambilan di negeri asing kelak.
Di sinar mata tajam Tristan itu, aku mulai belajar berdoa dan berharap pada-Nya
Fly me to the moon
Let me play among the stars
Let me see what spring is like on
A-Jupiter and Mars
Ibu mengangguk saat kukisahkan tekad untuk melamar beasiswa LPDP. Namun, beliau mempertanyaan saat pilihan jatuh pada kampus Universitas California San Francisco (UCSF).
“Dinni mau mengambil ilmu kesehatan, Bu. Dengan berbekal ilmu ini, Dinni ingin menolong ayah-ayah lain yang tak tertolong di masa depan,” jelasku.
“Apa hanya itu toh alasamu, Nduk?”
Aku tertunduk dengan wajah memerah.
“Tristan juga naksir ke sana, kan?” tebak ibu.
Aku menggangguk perlahan.
“Yo wes, ibu doakan kalian nembus beasiswa itu,” ujar ibu melegakan rongga dadaku.
Namun, ibu bisa jujur. Sedapatnya beasiswa pun, beliau tidak tahu bagaimana berbagi biaya lain-lain yang kubutuhkan dengan biaya Denni adikku untuk masuk SMA.
Saat kuceritakan, Tristan hanya bisa menghela napas.
“Kita jalani satu langkah per satu langkah, ya?”
Selebihnya, aku meluruhkan seluruh asa pada setiap kali menghadap hadiratnya.
Fly me to the moon
Let me play among the stars
Let me see what spring is like on
A-Jupiter and Mars
In other words, hold my hand
Tristan benar-benar hold my hand. Di menit-menit terakhir, dia yang menyelesaikan unggahan dokumen-dokumen kami.
“Nah, sekarang giliran kita mengencangkan doa-doa!” ujarnya sambil tersenyum.
Aku mengangguk dengan perasaan bercampur-aduk. Separuh berharap impian itu tiba sebagai kesempatan aku membahagiakan almarhum ayah. Separuhnya lagi, tak ingin menyusahkan ibu untuk membiayai Denni masuk SMA.
Denni sempat berbisik kepadaku, khawatir didengar ibu, “Kak, aku langsung kerja aja, ya?”
“Huss!” aku menghardiknya. “Kamu harus punya ilmu, menjaga ibu selama Kakak tidak di rumah, dan kelak menjadi lelaki kebanggaan keluarga.”
Adiknya hendak membantah, tetapi sesaat kemudian terdiam. Entah apa yang bermain di benaknya, yang terpenting aku masih melihat binar cahaya di matanya.
Fly me to the moon
Let me play among the stars
Let me see what spring is like on
A-Jupiter and Mars
In other words, hold my hand
In other words, baby, kiss me
“Ayah!” aku terpekik saat bersimpuh di makam ayah.
“Ayah! Dinni ketrima!” sergahku. “Dinni pamit, ya, Ayah baik-baik jaga ibu dan Denni, ya.”
Kami bertiga tenggelam dalam pelukan. Ibu tak mampu menahan tangis, dan Denni mengusap butir air mata yang mengalir di pipinya.
Namun, bersmaan dengan itu, aku kehilang kontak dengan Tristan. Duh, ke mana anak itu?
“Tristan lagi ke luar kota, Non. Baru akan kembali beberapa hari lagi,” ujar ibunya.
Aku berulang kali mencari namanya dalam daftar yang diumumkan, tetapi nihil. Pesan WA kepadanya, tak mendapatkan respons. Hingga, tiba hari ketika aku harus berangkat.
“Kamu ke mana saja, Tris? Kamu tidak diterima? Enggak apa-apa juga sekalipun kamu gagal. Percayalah, aku tak akan pernah memarahimu,” tukasku.
Dia hanya menggeleng. Lalu gelisah, dan segera mohon pamit.
“Kamu kenapa?”
“Aku harus ikutan pelatihan intensif, Din. Aku melamar kerja ke Jepang. Itu lebih realistis bagiku.”
“Tris! Kamu apa-apaan? Hal segenting ini kamu tidak cerita apa-apa? Kenapa, Tris?!
Tristan menggeleng. Perlahan senyumnya mengembang.
“Kita sedang menyongsong masa depan, Din. Kamu pasti berani ke sana seorang diri. Beri aku waktu, dan kau bisa menemukan aku di kanal YouTube selama di Jepang bekerja di Jepang.”
“Aku tersenyum kecut, teringat di banyak kesempatan kami menonton YouTube bersama, menjelajah kanal-kanal pekerja migran Indonesia di sana. Sebagian telah menikah dan menetap di sana.
“Aku pamit, ya. Ini hari pertama aku mengikuti pelatihan.”
Aku mengangguk.
“Tak ada lagi yang perlu kau risaukan,” ujarnya sambil menggamit tanganku untuk menerima sebuah amplop coklat yang lusuh.
“Apa ini?” sergahku.
Dia menggeleng, komat-kamit tak jelas, lalu buru-buru pamit. Menghilang dari ujung gang rumahku.
Belum sepat aku membuka amplop lusuh itu ketika WA Tristan masuk.
“Terimalah. Aku tak membutuhkan laptop saat ini. Uang penjualannya rasanya akan meringankan beban uang sekolah Denni.”
Aku nyaris tersedak. Tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya deras air mata yang menetes, dan mengalir. []
Pengumuman pemenang Cerpen Competition #IndiHomemenulis 2023
Catatan seperlunya:
Cerpen ini memenangkan juara kedua dalam ajang Cerpen Competition #IndiHomemenulis yang diselenggarakan oleh IndiHome Jateng DI Yogyakarta (IG @IndiHomejtd).
Kompetisi menulis cerpen dengan tema “Bagaimana Mencapai Tujuanmu” ini berlangsung pada periode 10-29 Juni 2023.
Wah cerpennya bagus banget 😍. Suka dengan pemilihan kata-katanya. Memang saat ini banyak juga anak-anak muda seperti Dinni yang giat belajar untuk bisa sekolah di benua asing untuk mencari ilmu yang lebih luas sekaligus mencari peluang kerja di luar negeri.
Gen Z rata-rata pinter, melebihi orangtuanya. Kadang mereka sebenarnya hanya butuh pemantik untuk berada di-track yang benar 🙂
Sekarang jadi kayak gampang gitu dapat beasiswa ke luar. Beruntung ada LPDP, laf banget.
Wah bagus banget ceritanya kak. Agak shock pas baca endingnya. Jadi intinya Tristan ini kerja demi bisa melamar Dinni? Atau gimana nih? Atau aku salah tafsir ya? Agak open ending nih hehe
Setiap cerita fiksi, kalau sudah dipublikasi, bebas ditafsir oleh pembacanya. Hehehe, gitu..
Suka dengan cerpennya, udah lama ngak baca cerpen dan suka banget temanya tentang anak-anak gen Z yang memiliki semangat juang, lagu Fly me to the moon mengingatkan saya pada almarhum ayah yang suka banget lagu itu.
Wah, punya kenangan juga ya, semoga mengingatkan pada kenangan manis.
Lagu yang memiliki memori yaa mba
Lagu ini juga pernah terdengar beberapa kali, lumayan bikin nagih rupanya
Betul itu, bikin nagih kalau diulang-ulang. Oya, salam dari Mas-Mas 😉
Mba, buat saya yang udah lama nggak baca fiksi, cerita ini menyegarkan sekali rasanya. Plot twist yang dibangun cukup mengejutkan, pemilihan kata untuk menunjukkan deskripsi juga oke punya.
Makasih ya apresiasinya. Oya, saya Mas, loh. Kadang kayak Mba, sih, hahaha.
terharu aku kalau soal cita-cita, ayah, keluarga. Bagusss ini
Kalau baca gini, aku selalu ngebayangin diri sendiri
Lama ga bikin cerpen dan baca cerpen juga sekarang
Bikin cerita fiksi bisa jadi terapi juga loh, hahaha.
Keren nih cerpennya, diksinya dalam. Auto kepoin juga lagunya gimana, ternyata nih lagu dah gak asing lagi di telinga saya
Lagu jadoel, tapi kalau didengerin berkali-kali, jadi enak banget! Saya suka 😉