Teringat Macau

APA yang tiba-tiba menempel dalam benakmu tatkala tersebutkan nama “Macau”? Bisakah kamu menyebutkannya sebanyak tiga kata?

Kasino, judi, dan reruntuhan St. Paul—yang hanya menyisakan sekeping gerbang dan tampak rentan apabila tersenggol, apalagi ditambah “terbacok”?

Mungkin. Dan, pasti?

Saya membaca status seseorang yang lewat di linimasa akun saya. Ia mengungkapkan perasaan syukur, “bisa menjadi buruh migran” di Hong Kong.

Sebelum momen tersebut, saya tercenung panjang usai menonton film Wind River. Ini film yang rilis pada 2017, bergenre kriminal thriller, tetapi “manis”.

Wind River berseting musim dingin di Reservasi Indian Wind River, daerah Wyoming, AS. Jeremy Renner memerankan karakter Cory Lambert, seorang agen layanan ikan dan margasatwa.

Cory tak sengaja menemukan mayat Natalie Hanson, gadis berusia 18 tahun. Tubuhnya sudah membeku di hamparan salju. Alhasil, ia pun terlibat membantu agen FBI dalam melakukan penyelidikan.

Natalie, sang korban pembunuhan, berada dalam ketidakberdayaan. Namun, ia tidak mudah menyerah, melakukan perlawanan panjang dan berat. Meski nyawanya tidak tertolong.

Kedua pemantik tersebut, yaitu status Facebook dan film Wind River, bertutur tentang perempuan. Jika tiba saatnya atau pada momentum yang dibutuhkan, akan terlihat bahwa perempuan adalah sosok yang sangat perkasa.

Kembali tentang Macau, saya tiba di kota turis itu menumpang TurboJET. Kapal feri berkecepatan tinggi ini, melayani rute Hong Kong – Macau, pp. Durasi tempuhnya sekitar satu jam.

Tak butuh berpanjang langkah saat saya menjumpai toko ini. Di sini, di liuk rak dan lemari yang sempit, seorang perempuan mengajak saya berbicara. Terdengar aksen Jawa keluar dari bibirnya.

Sebut saja namanya Asmirah. Ia masih tampak belia. Pernah bekerja lama di Hong Kong, lalu pulang kampung ke sebuah kota di Jawa Timur. Namun, ia kembali ke Hong Kong. Dan, pindah ke Macau, bekerja di sini.

Kami berbincang tersendat-sendat, sebab siang itu toko suvenir yang dijaganya riuh dan padat dengan turis. Tak tampak wajah sedih pada parasnya. Malah terlihat wajah antusias saat berjumpa saya, seseorang dari tanah airnya yang jauh.

Saya tidak punya penggaris untuk mengukur jarak perjalanan saya, dari Jogja ke Macau. Namun, saya tahu ia telah merantau sangat jauh. Dan, dalam kurun waktu sangat lama. Menjadi tulang punggung keluarga.

Dalam kondisi jarak yang sangat jauh dari tanah air, dan dalam kurun waktu panjang menjalaninya, bahkan tidak semua lelaki punya nyali untuk menempuhnya.

Bukankah begitu? []

Catatan seperlunya:

Tulisan ini semula berupa takarir (caption) di akun Instagram saya. Titi mangsa unggahnya, tercatat 2 Oktober 2017.

Saya sangat berhasrat membawanya ke Kolom di blog ini, sebab agak sulit ditemukan. Bahkan saya menemukannya secara tidak disengaja melalui Google.

Saya mengubah judulnya agar lebih pendek, sebab demikian lazimnya tajuk-tajuk pada kolom. Lalu, berusaha menyunting narasi utama tanpa mengubah apa pun berkenaan dengan pesan yang ingin disampaikan.

Namun demikian perlu saya sampaikan bahw, saya melakukan dua hal yang cukup besar. Pertama, memecah paragraf-paragraf tulisan itu sehingga tidak gemuk Agar nyaman dibaca melalui mobile phone.

Kedua, saya melakukan penambahan informasi mengenai film Wind River. Tujuannya adalah untuk memberi konteks agar lebih jelas. Untuk keperluan itu, saya menonton ulang trailer film tersebut di YouTube dan membaca sinopsisnya di media daring.

Begitu.

Ang Tek Khun
About the author

angtekkhun menulis di media cetak saat kuliah psikologi, berkarier di industri penerbitan, dan beralih ke media digital sebelum menggeluti integrasi media berbasis psikologi pembaca.

Tinggalkan komentar