DI negeri tetangga, Malaysia, ada event besar perbukuan bernama Pesta Buku Antarabangsa Kuala Lumpur (PBAKL) atau Kuala Lumpur International Book Fair (KLIBF).
Apa enaknya berkunjung ke PBAKL 2008? Hehe … banyak. Antara lain, di sana banyak jalan kakinya. Asyiiik. Sudah lama enggak fitnes sebab membership-nya sudah habis, sementara anggaran buat perpanjangan belum tersedia.
Hal lain yang menarik adalah uji stamina. Jika diceritakan secara ringkas, intinya kita harus ngelayap ke 4 aula (hall) berukuran besar. Aula-aula utama, padat sekali dengan pengunjung. Untuk berpindah stand, perlu waktu lumayan lama.
Iya, untuk berpindah penerbit memang butuh waktu. Sebab di setiap penerbit kita akan asyik memelototi buku satu per satu. Banyak yang menarik. Ditambah acara mengobrol ala kadarnya dengan yang jaga, seperti ibu-ibu saat di pasar.
Ngomong-ngomong soal mengobrol, kedodolan saya berbahasa (lisan) membawa keasyikan tersendiri untuk bertualang di Malaysia ini. Mengapa?
Sebab kita bisa menggunakan tiga bahasa sekaligus, yaitu Melayu, Inggris, dan Mandarin. Dijamin pasti orang-orang yang saya ajak ngomong akan tersepona.
Eh! Terpesona?
Iya, bukan karena kelihaian lidah saya bercas-cis-cus, tetapi mosaik gonta-ganti bahasa dalam tempo sesingkat-singkatnya. Plus, bila dibutuhkan, berbonus bahasa Tarzan.
Pada waktu sedang mengobrol itu, bukan persoalan bagaimana menerjemahkan teks di kepala saat mendengar atau pengin ngomong. Melainkan, apa yang nongol di kepala saya, yeahh itulah yang terucapkan mulus tanpa sensor.
Hehe.. maka serulah perbincangannya. Kalau direkonstruksi secara imajinatif dan ngarang-ngarang secukupnya untuk keperluan contoh, seperti ini kali ya, “Hi, Miss, Good morning. Awak beli buku ini. Xie xie nie for discount.”
Tumben saja saya selalu berjumpa dengan orang-orang ramah untuk diajak mengobrol di sana. Di stand Mashall Cavendish misalnya, saya disambut hangat oleh Cassy. Dia itu, selain manis dan cakep, ngasih diskon 3 RM lagi per buku yang saya beli.
Hiks, terharu saya pada Cassy. Namun, tidak begitu dengan bos si Cassy. Lain lagi ceritanya. Menghadapi saya, dia nyerocos terus pakai bahasa Mandarin, kayak kereta api cepat. Puyeng deh saya putar otak untuk memahaminya!
Bagaimana caranya saya bisa lihai berbahasa Mandarin kalau kosa kata yang saya miliki hanya pas-pasan? Modal bahasa Mandarin saya hanya berdasarkan percakapan orang-orang yang saya dengar sewaktu remaja doeloe.
Di stand penerbit lain, saya disambut ramah oleh manajernya yang turunan India. Sementara di stand terakhir yang saya tak ingat lagi namanya, saya mendapatkan buku gratis untuk dibawa pulang. []
Catatan seperlunya:
Goresan genre opini atau sketsa dengan judul sama ini, saya publikasikan pada 30 April 2008. Beberapa saat seusai pulang dari Pesta Buku Antarabangsa Kuala Lumpur (PBAKL).
Semula tulisan ini berdiam di blog angtekkhun.wordpress.com. Saya memutuskan untuk memindahkannya ke sini sebab blog lawas itu sudah cukup lama terkunci rapat, tak bisa saya akses lagi.