Tentang Ayah dan Penantian Tanda Tangan Presiden Soeharto

Pengalaman adalah momentum mematri inspirasi dan ingatan yang kuat akan memantiknya sebagai sumber kenangan dan pembelajaran hidup.

_

TULISAN ini bukanlah tulisan baru saya. Semula dia terbit menggunakan judul “Ayah Paling Bodoh Sedunia” dan tayang di Kompasiana.com pada 18 November 2013.

Setelah pemuatan itu, saya sempat mendapati tulisan ini disalin utuh dan dipublikasi di satu-dua blog/website. Praktik salin ulang ini tanpa sepegetahuan saya. Dengan begitu pastinya tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada saya.

Saya tercatat bergabung di Kompasiana pada 15 Agustus 2013 dengan nama akun Kompasiana.com/khun. Sejak akun itu aktif, saya mencoba memahami bagaimana cara kerja platform ini hingga menemukan pengumuman lomba blog di sana.

Iya, kisah ini saya tuliskan karena terpantik untuk mengikuti lomba blog yang diselenggarakan Kompasiana.com berkenaan dengan momentum event ulang tahun dengan tajuk ikonik Kompasianival (2013).

Pada 28 November 2013 keluar pengumuman Pemenang Lomba Multiplatform Kompasianival 2013 di Kompasiana. Tulisan ini dinyatakan sebagai pemenang dan beroleh apresiasi jalan-jalan ke Phuket, Thailand.

Tulisan tersebut kini saya pindahkan ke blog ini tidak dengan tujuan lain selain keinginan untuk mengumpulkan aset-aset karya digital saya yang selama ini terserak di mana-mana.

Tulisan tersebut tidak saya copy dan paste seadanya. Saya menggunakan kesempatan ini untuk mengganti judul dan melakukan penyuntingan seperlunya tanpa mengurangi pesan yang hendak saya sampaikan kala itu.

Selamat membaca. Kiranya inti pesan atau butir-butir kecil pesan dari tulisan berusia lebih dai 10 tahun ini masih relate dengan Anda yang membacanya hari ini.

Bermula dari kegelisahan

Ajakan untuk menulis di Kompasiana dalam event HUT Kompasianival 2013 dengan ketentuan tema “Mengekspresikan Keindonesiaan Versi Anda”, membuat saya terhuyung ke banyak tahun di belakang.

Saya mengembuskan napas panjang dan teringat kalimat keluhan yang pernah saya ucapkan dalam hati kala itu, “Tidak mudah menjadi warga negara Indonesia.”

Lahir dari pasangan orangtua yang juga lahir di sebuah desa di Indonesia, ternyata tidak membuat saya otomatis berhak menyandang status sebagai Warga Negara Indonesia.

Menyelesaikan SMA di Surabaya, saya harus menunda kelanjutan studi perguruan selama satu tahun. Saya harus pulang ke kampung halaman bernama Donggala, Sulawesi Tengah.

Langkah berikutnya, saya menempuh jarak lebih dari 34 km berulang kali, antara Donggala dan Palu—ibukota provinsi, tempat semua urusan pemerintahan daerah berkumpul.

Saya terlibat dalam proses ribet untuk mengurus berbagai dokumen dalam rangka pemenuhan syarat untuk memeroleh status sebagai Warga Negara Indonesia.

Menanti tanda tangan Presiden Soeharto

Proses melelahkan itu nyaris tiba di pengujung kala saya, dengan keluguan dan perasaan kelu, menyodorkan amplop “sebagaimana lazimnya”. Itu momen tatkala saya menjalani tes wawancara untuk menguji keindonesiaan saya.

Saya menjalaninya di sebuah ruangan cukup besar dan berkelas. Tangan saya sempat agak gemetar dan ucapan saya terbata-bata. Saya harus menunaikan langkah terakhir itu agar berkesempatan menjalani seremonial disumpah atas nama kesetiaan kepada negara.

Itulah bagian dari proses panjang pengajuan saya untuk mendapatkan dokumen Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Agar bisa berlanjut diproses dalam tahapan lanjutan di pemerintahan pusat.

Setelah itu, masih butuh waktu yang cukup panjang dalam penantian proses di Sekretariat Negara (Setneg), Jakarta. Sebelum dokumen resmi sampai di tangan saya, yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.

Tes wawancara keindonesiaan

Sebelum masuk ke dalam ruangan untuk menjalani tes wawancara tersebut, Om saya telah mempersiapkan amplop tersebut bagi saya. Beliau juga mengajari saya harus bertindak bagaimana. Tentu beliau telah belajar berdasarkan pengalaman pribadi.

Samar saya masih mengingat ucapan beliau sesaat sebelum saya masuk. “Isi amplop ini tidak banyak. Kalau diterima, itu keberuntunganmu. Kalau ditolak, kau harus mengulang tes wawancara ini dengan amplop lebih tebal,” ujarnya.

Saya tidak tahu harus berkata apa. Padahal, saya sangat yakin mampu melewati tes wawancana itu. Saya hapal Pancasila, mampu mengingat teks Proklamasi, bisa menyanyikan Indonesia Raya, dan lagu-lagu lain yang diajarkan selama saya bersekolah.

Tidak hanya itu, saya juga ikut Pramuka dan terlibat dalam lomba gerak jalan sekolah setiap 17 Agustus. Bahkan saat merantau sekolah di Surabaya, saya ikut gerak jalan Mojokerto-Surabaya sepanjang 55 km dalam rangka Hari Pahlawan.

Alhasil, hari itu keberuntungan sedang berpihak pada saya. Tanpa sengaja, saya bercerita bahwa saya memiliki kesukaan menulis. Saya sedang belajar menulis apa saja dan di media mana saja. Mading, buletin sekolah, majalah remaja, dan koran tertentu yang memiliki rubrik untuk pembaca remaja.

Ketika itu saya tidak menyadari bahwa memang pejabat sebagaimana lazimnya kala itu, mencemaskan wartawan—sebab memang saya bukanlah seorang wartawan.

Setelah saya bercerita tentang kesukaan menulis itu, tak ada pertanyaan yang harus saya jawab. Beliau malah bercerita tentang prestasi yang pernah diraihnya bersama institusi tersebut. Amplop tipis saya pun diterima dan saya dinyatakan lulus.

Bagai menunggu Gogot

Usai menjalani sumpah di pengadilan, saya berpikir segala urusan akan selesai. Ternyata saya belum berhak mendapatkan dokumen legal sebagai orang Indonesia.

Sebagaimana saya kisahkan di atas, saya masih harus bersabar bagai menunggu Godot. Untuk mendapatkan keputusan presiden, saya menanti selama lebih dari satu tahun.

Itulah sepenggal kisah yang terjadi kala Indonesia masih dalam rezim Orde Baru. Kisah yang masih lekat membekas dalam ingatan saya. Dalam versi sederhana, pengalaman ini pernah saya kirimkan dan dimuat di majalah Hai semasa dalam asuhan Arswendo Atmowiloto.

Tidak mudah memang menjadi warna negara Indonesia. Perjalanan studi saya sempat jeda di SMA kala itu. Usai pulang kampung setahun untuk keperluan ini barulah saya kembali ke Surabaya untuk menjalani kuliah.

Dengan status masih Warga Negara Asing (WNA), saya terdaftar sebagai calon mahasiswa “ngambang”. Saya harus rebutan jatah kursi kuliah 2% untuk mahasiswa asing dan wajib mengeluarkan biaya yang cukup tinggi.

Selama penantian keputusan Presiden Soeharto atas pengajuan kewarganegaraan saya, selama itu pula saya hanya gigit jari setiap kali membaca pengumuman berbagai lomba menulis.

Sebagai informasi, kala itu setiap kali ada lomba menulis, misalnya lomba cerpen populer di majalah-majalah remaja, saya tidak berhak untuk ikut. Selalu terdapat syarat “peserta adalah Warga Negara Indonesia (WNI)”.

Saya tak ingin menyesali semua hal yang sudah berlalu itu. Termasuk, yang berpangkal pada kenyataan bahwa saya adalah anak dari “seorang ayah yang paling bodoh sedunia”.

Sekilas kisah ayah saya

Sekilas kisah, almarhum ayah saya lahir di sebuah desa di pedalaman pulau Sulawesi. Posturnya cungkring mirip Presiden Joko Widodo. Warna kulitnya tak kalah legam oleh terpaan sinar matahari.

Sebagaimana anak-anak desa lainnya, beliau bermain dan bergaul dengan siapa saja. Dan, di mana saja—dari gunung sampai sungai hingga laut. Sekolahnya hanya sampai kelas tiga Sekolah Rakjat (SR) disebabkan oleh situasi saat itu.

Dalam usia semuda itu, ayah saya harus bekerja serabutan. Termasuk memulung barang-barang bekas sebagai bahan baku untuk diolah dan kemudian dijual kembali.

Di usia remaja, dengan menaiki sepeda andalan keluarga, ayah saya pergi berdagang. Dia mengayuh hingga pelosok kampung untuk membeli minyak kelapa dari penduduk dan menjualnya di kota.

Jiwa sosial ayah saya tumbuh secara natural. Hal ini membuat saya terkenang kepadanya setiap kali mendengar kisah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tentang ayahnya.

Ketika kelak kemudian hari telah bersepeda motor, itulah kendaraan andalan beliau. Setiap kali ke pedalaman untuk mengurus kebun, ayah selalu menyempatkan diri untuk berhenti. Biasanya di warung kopi di sebuah kampung untuk sekadar bercakap dan mengetahui kondisi mereka.

Apabila dalam perjalanan itu ada yang dijumpainya, misalnya pisang yang tergantung di rumah penduduk, belau selalu berhenti untuk membelinya. Tidak selalu jualan itu lebih murah, tetapi ayah rajin membelinya.

Di kemudian hari saya paham, ayah sedang bermaksud menebus jualan itu dengan uang tunai. Dia lakukan agar warga desa itu tak perlu pergi jauh, biasanya menggunakan gerobak atau berjalan kaki, untuk menjualnya di pasar.

Tak ada pengetahuan apa pun tentang keindonesian di benaknya, karena memang demikianlah kehidupannya sehari-hari. Demikian juga dengan para penduduk setempat, mereka tidak pernah melihat perbedaan pada diri ayah saya.

Pengalaman ini membuat saya yakin sejak dini bahwa sikap rasialis dan diskrimatif sejatinya bukanlah sifat bawaan manusia Indonesia. Melainkan, sesuatu hal yang dipelajari. Atau, diajarkan secara sengaja.

Ayah paling bodoh sedunia

Waktu kemudian berlalu, hingga ayah saya menjelma menjadi “ayah paling bodoh sedunia”. Dia tak pernah menyadari bahwa kelak anak-anaknya akan bertambah besar dan bersekolah dengan membawa secarik dokumen bukti Warga Negara Indonesia (WNI).

Dia tak pernah menggubris untuk mengurus dokumen ini, karena ia tidak pernah merasa dirinya adalah orang asing. Padahal, apabila ayah mau mengurus dokumen ini, maka anak-anaknya akan secara otomatis mengikuti status orangtuanya sebagai WNI.

Akibat hal yang tak remeh ini, satu per satu anaknya melewati usia 17 tahun dengan status WNA. Maka, seperti yang saya alami, saya harus mengurusnya secara terpisah sebagai seorang yang dianggap telah dewasa.

Cukup lama saya merasa “sakit” dan “menyesali” kebodohan ini yang berimbas pada derita saya dalam menjalani status WNA. Namun di kemudian hari saya menyadarinya, bukankah demikian seharusnya sikap setiap insan yang melekat dan menjadi bagian sah dari bangsa ini.

Tidak selayaknya pembuktian status kewarganegaraan Indonesia seseorang, hanya terletak pada secarik kertas. Lembar kertas berkop Sekretariat Negara dan ditandatangani oleh presiden.

Itu pula sebabnya saat merasa lelah dalam penantian, dan dokumen sakti tersebut akhirnya saya terima, saya sudah terlalu lelah untuk mengeluarkan uang dan mengurus dokumen penggantian nama saya.

Biarlah nama saya tetap begini. Apa adanya, sesuai akte kelahiran. Dengan segala konsekuensinya. Lebih baik kelelahan saya ditukar dengan kelelahan dalam berkarya lain. Untuk bangsa dan negeri yang dicintai oleh almarhum ayah saya dengan tanpa kata-kata. []

Kredit foto: Pixabay

Ang Tek Khun
About the author

angtekkhun menulis di media cetak saat kuliah psikologi, berkarier di industri penerbitan, dan beralih ke media digital sebelum menggeluti integrasi media berbasis psikologi pembaca.

Tinggalkan komentar