Matematika Mandi, Warisan Menabung Air Bersih dari Nenek

Masa lalu menyediakan banyak bahan pembelajaran baik disebut sebagai kearifan lokal, kebijaksanaan domestik, inspirasi jadul, atau apa pun. Termasuk perihal penghematan atau menabung air bersih demi masa depan.
_

SEMULA tulisan ini menggunakan judul pendek, “Warisan Nenek”. Jika penasaran, Anda bisa menemukannya termuat di Kompasiana.com dengan titi mangsa 29 September 2013.

Saya menuliskannya kala itu dalam rangka mengikuti lomba berkenaan dengan HUT Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ke-19. Ketika diumumkan, tulisan ini dinyatakan sebagai pemenang pertama.

Saya memindahkannya ke sini semata untuk kepentingan pengdokumentasian tulisan-tulisan saya yang terserak di berbagai platform. Dalam proses ini, saya kesempatan untuk menyunting seperlunya.

Saya mengoreksi kata atau kalimat ala kadarnya, juga memotong paragraf yang cukup gemuk menjadi lebih pendek. Ini semua disesuaikan dengan tuntutan zaman, di mana pembacaan daring terbanyak dilakukan menggunakan smartphone.

Sekalian, saya membuatkan sub-subjudul. Agar tidak memberi kesan panjang secara psikolgis. Sebab stamina membaca di era ini, jauh menurun dibandingkan generasi lalu.

Demikianlah, kiranya Anda berkenan dan berdaya tahan untuk menuntaskan tulisan ini hingga kalimat atau kata terakhir. Selamat membaca, kiranya masih menginspirasi Anda.

Significant person

NENEK saya bukanlah wonder woman. Perawakannya yang langsing lebih mirip Michelle Yeoh, aktris yang banyak berperan dalam film laga dan merebut Piala Oscar perdananya melalui film Everything Everywhere All at Once (2023).

Nenek saya juga bukan tipe orang yang suka tampil di publik dan terlibat dalam pergaulan sosial. Juga tidak melakukan aksi-aksi heroik. Lebih memilih fokus dengan rutinitas hidupnya.

Nenek saya tidak piawai berbicara, apalagi bersilat lidah. Tidak mirip mantan Perdana Manteri Inggris Margaret Thatcher yang mampu memukau audiens dengan buah pemikirannya.

Jika kita mengenal filosofi hidup orang Jawa, sepi ing pamrih rame ing gawe, begitulah nenek saya—sekalipun saya tahu beliau tidak pernah tahu tentang folosofi hidup dalam budaya Jawa ini.

Dengan profil seperti itu, diam-diam dia hadir dan menjadi pribadi yang meyakinkan (significant person), sekaligus menjadi role model bagi saya.

Sebagaimana orang yang berasal dari Tiongkok, banyak filosofi hidup praktis yang dianutnya. Terejawantahkan dalam form sederhana tetapi menakjubkan, dan aktual dalam diri saya hingga kini.

Filosofi penuntun hidup

DI antara sekian banyak aspek hidup yang diteladankan nenek saya, ada satu hal yang kurang dipahami kami, cucu-cucunya. Itu sebabnya pada saat itu cenderung menimbulkan gelak tawa karena dianggap lucu.

Saya tidak mengingat secara detail lagi angka-angka yang pernah disebutkannya. Namun, nenek saya pernah mengajarkan “matematika” untuk urusan mandi kepada kami.

Suatu ketika dan banyak ketika lainnya, beliau bercerita bahwa air sangatlah penting dalam kehidupan ini. Sebab itu, meski terlihat gampang, sesungguhnya tidaklah mudah untuk memeroleh air.

Dengan alasan prinsipil ini, beliau lalu menngisahkan bagaimana ia berupaya membuat penggunakan menjadi efektif. Beliau menggunakan sebuah rumusan dalam hal penggunaan air untuk mandi.

Apabila mandi, kata nenek saya, tidak selayaknya kita membabi buta “byur-byur”, melempar air bergayung-gayung ke tubuh hingga lengan kita kelelahan.

Tidak boleh, kata nenek saya. Itu cara mandi yang tidak bijaksana. Beliau lalu bercerita bahwa ia menggunakan pola yang kemudian menjadi kebiasaan hidupnya sehari-hari.

Filosofi air mandi

SETIAP kali mandi, kita harus membatasi berapa gayung air yang akan kita pakai, demikian beliau menerangkan. Kemudian, beliau bercerita lebih lanjut perihal penjatahan tersebut.

Satu gayung untuk membasahi keseluruhan tubuh. Setelah sabunan, sekian gayung kuota untuk menyiram tubuh sisi kiri. Demikian juga dengan sekian gayung jatah untuk sisi kanan tubuh.

Dalam hal membilas bagian-bagian tubuh, ada trik tersendiri yang bisa dilakukan. Caranya, mencipratkan air dari dalam gayung. Itu semua diakhiri dengan bilasan atas seluruh tubuh.

Jadi, semua ada perhitungannya. Ada formulanya. Dan, itulah jatah air untuk digunakan buat mandi. Pas, tidak butuh dan tidak boleh lebih.

Kami tertawa saat mendengarkan kisah itu, sebab kami menganggapnya sebagai hal yang lucu dan menimbulkan pancingan untuk gelak tawa.

Nenek saya hanya tersenyum membalas respons kami. Beliau tidak berkacak pinggang dan menuding-nudingkan telunjuknya agar kami mematuhinya bagai prajurit pada komandannya. Tidak sama sekali.

Semua ceritanya itu perlahan membuka kesadaran saya dan meresap ke alam bawah sadar. Lalu, saya mulai mempraktikkan “wejangan” tersebut. Sejak saat itu, saya mandi dengan “matematika” nenek saya.

Pelopor menabung air

Hingga kini saya tidak pernah mengerti dari mana ide dan bagaimana beliau bisa memahami betapa air sangat krusial dan suatu hari kelak umat manusia akan mengalami krisis air bersih.

Saat ini tidak sulit untuk mendapatkan informasi tersebut. Begitu data dan informasi yang dapat kita baca dari laporan-laporan institusi terkait dan concern dengan hal ini.

Saya tidak lagi memiliki kesempatan untuk mewawancarai beliau mengenai “matematika” mandi. Sebab sekian puluh tahun yang lampau, beliau telah meninggalkan kami.

Namun hari ini, pesan beliau masih lekat di dalam benak saya. Dan, menempatkan beliau di bagian spesial dalam hati sebagai sosok dalam barisan pelopor gerakan “menabung air untuk masa depan umat manusia”.

Bagi saya, pengenaan atribut tersebut tidaklah berlebihan. Setidaknya beliau telah berhasil mewariskan kebiasaan ini kepada saya pribadi, sebelum kemudian saya mengalirkannya ke dalam keluarga saya.

Tentu saja saya dan keluarga tidak perlu repot-repot menghitung gayung bila mandi. Sejak penggunaan shower menjadi populer, kami segera beralih ke perangkat ini. Sangat membantu dalam mengirit penggunaan air.

Pipis bergiliran

Lebih dari itu, ada hal pokok yang selalu kami pertahankan saat pertama kali membeli rumah untuk kami huni, yaitu mempertahankan ruang terbuka hijau seluaskan mungkin bagi penyerapan air.

Selain itu, ada satu hal unik yang tanpa malu-malu kami terapkan dan ajarkan kepada putri kami sebagai warisan tak langsung dari nenek saya. Apakah itu?

Bukan “matematika” penggunaan gayung untuk mandi, melainkan Prosedur Operasi Standar (Standard Operating Procedure/SOP) untuk buang air kecil (pipis).

Setiap kali salah seorang di antara kami hendak membuang air kecil (pipis), selalu berucap keras, “Ada yang mau pipis?” Lalu kami bergiliran pipis, dan orang terakhir yang berhak menekan tombol flush di toilet.

Kini warisan ini telah melekat di dalam diri putri kami. Seperti nenek saya, kami tidak mencerahaminya dengan berbagai teori, wacana, dan kampanye. Melainkan kata-kata yang rasional dan teladan nyata.

Dan di sini, melalui tulisan ini, dengan tanpa malu saya menceritakan hal ini. Saya ingin membagikan warisan nenek ini agar menjadi warisan yang mendatangkan manfaat bagi banyak orang.

Actions speak louder than words.

Terima kasih, Nek. Jika saat itu kami yang menertawakan ceritamu, mungkin kini giliran engkau yang tersenyum di surga sana saat membaca pengadaan SOP untuk pipis ini. Hahaha.

Ang Tek Khun
About the author

angtekkhun menulis di media cetak saat kuliah psikologi, berkarier di industri penerbitan, dan beralih ke media digital sebelum menggeluti integrasi media berbasis psikologi pembaca.

Tinggalkan komentar