Pesta Ikan Deho di Tepi Jalan, di Pesisir Teluk Buyat Minahasa

Komunitas BatuHijauBootcamp mengajak saya ke kawasan Newmont Minahasa Raya yang berlokasi di Ratatotok, kecamatan terbesar di Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Kami dimanjakan untuk menikmati Pantai Lakban, keindahan bawah laut, dan menyantap ikan Deho.
_

SEBAGAI anak yang lahir di tanah Sulawesi Tengah, saya harus mengakui fakta bahwa saya belum pernah pernah menjelajah jauh di Sulawesi Utara, pun bagian Sulawesi yang lain.

Saya beruntung mendapat kesempatan emas yang ditawarkan oleh Komunitas BatuHijauBootcamp. Kami diundang ke belahan lain yang anti-mainstream, di Sulawesi Utara.

Dari Manado, kami turun ke bagian bawah pulau itu. Jika Anda melihat peta, temukanlah Buyat atau Pantai Lakban. Maka, Anda pun akan tahu betapa eksotis sisi lain dari pulau ini.

Terima kasih Newmont Minahasa Raya yang telah menjamu dan memanjakan kami selama berhari-hari. Mengantarkan kami piknik menikmati keindahan recovery yang telah dilakukannya, termasuk wisata bawah lain yang menakjubkan.

Bukan hanya itu, termasuk di dalamnya, mengajak kami berpesta ikan Deho di tepi jalan. Di pekarangan rumah nelayan dan menyantap ikan segar dari laut.

Setiap sore para nelayan di sana pulang melaut dan membawa hasil. Tangkapan yang kami lihat, limpah dengan ikan Deho. Mereka mengasapnya di pekarangan, sebelum menjual ke pasar.

Kisah ini telah tayang di blog lawas bertiti mangsa 6 November 2016. Saya menariknya ke sini karena sedang mendokumentasikan tulisan-tulisan blog yang berceceran di mana-mana.

Agar fit dengan tuntutan platform masa kini, di mana keterbacaan tertinggi menggunakan mobile phone, saya menyunting seperlunya untuk keperluan itu. Selamat membaca!

Perjalanan darat dari Manado menuju Buyar di Ratatotok, Minahasa

Ada surga di Minahasa

MAAF, surga tak selalu berada di bawah telapak kaki ibu. Meskipun Muchsin Alatas menyanyikan lagu ini dengan sepenuh perasaan. Dan, mengalirkan liriknya dari segenap denyut jantung.

Enggak percaya? Tengoklah lagu jadoel ini, yang masih tersimpan di YouTube. Bisa dicari menggunakan judul tayangan: Jakarta Melayu Festival 2012 – Muchsin Alatas – Surga Ditelapak Kaki Ibu.

Meski begitu, saya tetap ingin memejamkan mata serta meresapi fakta. Di tanah Minahasa, surga itu ada di sekeliling lidah—indra pengecap kita.

Racikan rempah di sana akan melahirkan beragam citarasa. Membuat apa pun yang disergap oleh bumbu masak khas Minahasa, akan melambungkan cecap kita. Hingga mata berbinar dan bibir semringah.

Ya, apa pun itu. Maka, tak terbantahkan bahwa di tanah Nyiur Melambai itu, terentang santapan yang menggiurkan. Sejak dari kuliner “santun”, hingga olahan masakan “ekstrem”.

Jika fakta itu adalah “Romeo”, maka kekayaan hasil laut yang melimpah adalah “Juliet” yang berpadu menghadirkan Minahasa sebagai tanah surga untuk merayakan pesta bagi lidah kita.

Ada beragam jenis olahan khas dari pucuk utara pulau Sulawesi ini. Sebagian telah merasuk hingga ke singgasana tertinggi pilihan rasa warga di tanah air dan diaspora Indonesia.

Namun kisah tentang kuliner Manado atau Minahasa, tak melulu cerita mainstream, yang itu-itu saja. Atau, rujukan kuliner yang telah menjadi stereotipe dan dikenal masif.

Ada kisah lain tentang, olahan sederhana di tepi jalan di tanah itu. Meskipun demikian, tak kehilangan magis dalam urusan memikat lidah.

Ikan-ikan Deho berbaris rapi dalam proses pemgasapan yang dilakukan oleh nelayan

Kisah Anti-mainstream dari pesisir sana

KOMUNITAS BatuHijauBootcamp telah mengantar kami mendarat di Manado dan menempuh ratusan kilometer dalam perjalanan darat untuk menukik hingga tiba di Teluk Buyat.

Harus diakui bahwa selama beberapa hari di tanah Minahasa, lidah saya telah dibuai oleh berbagai penganan dan masakan khas setempat di sana.

Perjalanan saya di sana tampaknya akan berakhir dengan sajian kuliner yang berasal dari dapur dan tersaji di meja makan. Hingga suatu ketika, kami menjelajah jalanan, dan berhenti demi ikan Deho.

Mentari mulai bergerak ke Barat saat kami berkendara, menyusuri jalanan yang membelah rumah-rumah penduduk. Kami menikmati panorama khas perkampungan di sana dai balik jendela mobil.

Senja belum tiba di Teluk Buyat ketika tampak kepulan asap meninggi. Pemandangan itu menghentikan laju kendaraan kami. Lalu, kami memutuskan untuk turun dan menghampirinya.

Sejauh mata mendekat, tampaklah sesuatu yang eksotis dan khas perkampungan nelayan. Di pelataran tanah, di samping sebuah rumah sederhana dengan penghuninya yang bersahaja.

Kami pun menjumpai pemandangan yang menakjubkan untuk ukuran urban. Ikan-ikan berjajar, bersanding rapat, berbaris dalam saf-saf yang rapi. Mereka sedang diasap menggunakan sabut kelapa.

Asap yang membubung mengirimkan undangan bagi kaki kami untuk bergegas mendekat. Naluri memotret untuk diunggah ke media sosial membuncah.

Lalu lahirlah percakapan di antara kami dan seorang lelaki. Lelaki yang sedang sibuk mengatur bara api agar terpelihara nyala dan tersebar merata.

Disimpan berteman dengan es batu sebelum dijual keesokan harinya

Ketika ikan Tongkol masih remaja

PADA setiap sore, para nelayan pulang dari melaut. Mereka membawa sejumlah berkah melimpah dari laut. Sisi tenggara semenanjung Sulawesi belahan utara itu, menghadap ke Laut Maluku.

Sebuah kemewahan, sebab di sinilah untuk pertama kalinya saya berjumpa dengan ikan-ikan remaja, yang mereka panggil sebagai Deho.

Menelisik sosoknya, itulah jenis ikan Tongkol di usia masih remaja. Mereka bagian dari keluarga besar ikan Tuna. Tampangnya menampakkan wajah khas: bermoncong runcing, bermata delik.

Ikan-ikan Deho ini langsung diasap sebelum kemudian dijual ke pasar. Bagian lain hasil tangkapan nelayan ini, dipertahankan sebagai ikan mentah. Disimpan dalam styrofoam box sederhana dengan bantuan es batu.

Asap membubung mematangkan ikan-ikan Deho

Menari dalam tarian lidah

KAMI mengawalinya dengan memanjakan kamera hp dengan mengabadikan banyak objek hingga puas. Seraya mendengarkan berbagai kisah tentang ikan Deho. Serta kisah kehidupan keseharian nelayan di sini

Lalu, tibalah giliran lidah kami menagih cecap. Maka, ketika ikan-ikan Deho itu telah matang diasap, kami pun menyerbunya dengan penuh minat.

Tak seorang pun mampu memelihara lidah kami tingkah santun. Dia bekerja rajin, lahap berebut asupan. Menyantap sigap ikan-ikan remaja itu.

Cara makannya sederhana saja. Bermodalkan piring plastik dan racikan sambal tomat ala Minahasa. Jari-jemari kami dengan brutal menjemput daging ikan Deho itu.

Baaimana rasa yang disuguh daging ikan-ikan remaja itu? Manis tercecap! Tentu di luar selimut rasa yang dibawa sambal tomat. Itulah yang tak mampu diingkari lidah saat menari bahagia.

Sambil berdiri di pekarangan dan tepi jalan itu, tba-tiba saja kami menjadi bagian dari sekumpulan orang yang paling berbahagia di muka bumi ini. Haha.

Ada suguhan rasa lain, selain manis yang ditawarkan ikan-ikan Deho itu. Segar sambal yang dibuat keluarga nelayan itu, kian melambung saat tersemai perasan jeruk. Melambungkan liur yang tak henti.

Di setiap piring kami, tak seorang pun rela menyisihkan tempat bagi sejumput nasi putih. Hingga tercatat di sisa pesta pora jalanan itu, setiap kami trengginas menghabiskan dua hingga tiga ekor ikan Deho.

Hampir bisa dipastikan, kami berhenti di 2-3 ekor itu karena sungkan pada orang-orang yang sibuk mengasap ikan Deho. Bukan karena teringat bahwa jam makan malam masih di depan.

Di hari menjelang senja itu, ketika perjalanan dilanjutkan untuk pulang basecamp kami, saya merentangkan senyum untuk meluapkan bahagia.*

Ang Tek Khun
About the author

angtekkhun menulis di media cetak saat kuliah psikologi, berkarier di industri penerbitan, dan beralih ke media digital sebelum menggeluti integrasi media berbasis psikologi pembaca.

4 pemikiran pada “Pesta Ikan Deho di Tepi Jalan, di Pesisir Teluk Buyat Minahasa”

  1. Oalaaaah mas, aku langsung rasanya pengen terbang kesana 🤤🤤😄😄. Baru tahu tongkol remaja namanya deho. Aku pun blm pernah ke menado, atau banyak daerah sulawesi lain. Satu2nya cuma Makasar doang yg aku pernah visit.

    Tapi memang Krn daerah mereka dekat laut, jadi seafoodnya ga udh banyak bumbu pun udh sedeeep krn segar yaaa ❤️👍👍

    Masakan ikan deho ini miriiip sih Ama kuliner Sibolga Tapanuli, tapi beda namanya..kalo di kami nyebutnya ikan sombom. Jadi ikan tongkol atau tuna yg dibakar gitu aja, lalu dimakan dengan sambel racikan kecap, tomat, cabe rawit dan jeruk limau. Memang mantep. ❤️. Makanya aku bisa cocok Ama kuliner Sulawesi, Krn sedikit banyak mirip Ama masakan kampung ku Tapanuli.

    Balas
  2. Sesekali perlulah tengok Sulut, sekalian terbang ke Manila? hehehe, Btw yang ke Manado banyak, tapi yang turun ke selatan rasanya akan jarang sekali. Belum terbentuk sebagai tujuan atau destinasi wisata. Masih kehidupan warga biasa di pesisir.

    Ikan-ikan di Indonesia kayaknya banyak yang sama tapi menyandang nama yang berbeda-beda. Kecuali jenis ikan tertentu. Di Sulawesi ada loh jenis ikan yang tidak dikirim dan dijual ke Jawa. Melainkan terbang ke Hong Kong atau Taiwan. Bikin ngiri, kan?

    Balas

Tinggalkan komentar