Hari ini review film saya tayang perdana di media daring Gensindo.sindonews.com. Review tentang film pendek Telur Setengah Matang. Serba perdana, antara lain film pendek dengan cara menulis agak berbeda dan keharusan minimal 1200 kata.
_
SELALU ada cerita tentang hal-hal yang kita kenang sebagai yang pertama. Kisah-kisah tentang pengalaman perdana, yang meninggalkan kesan yang membekas. Termasuk dalam menulis, mengeksplorasi genre-genre yang terbuka luas.
Momentum tersebut biasanya akan memuarakan kisah di balik layar yang tak kalah seru. Proses kreatif mula-mula yang menjadi jejak langkah dalam perjalanan (milestone) yang bisa panjang ke depan.
Menulis review film adalah salah satu “genre” yang asing bagi saya. Memang, saya cukup rajin menonton film. Namun, sekadar penikmat. Hiburan semata. Tak lebih, tanpa pretensi apa-apa.
Atau, paling jauh film menjadi sumber inspirasi, sebagai titik pijak untuk menulis tulisan lain. Biasanya akan lari ke jenis tulisan reflektif, motivasional. Ter-insert ke dalamnya sebagai ilustrasi.
Belum lama
BELUM lama berselang, sesekali saya menulis review film di akun Instagram saya. Hanya pendek, sebatas takarir—tapi bagi kebanyakan orang mungkin dianggap sepenuh limit takarir itu terlampau panjang.
Itu pun hanya sesekali. Dan, menginjak rem deras setelah mendapat komplen dari pembaca. Katanya, saya kurang etis. Dalam tulisan, mengandung spoiler. Hal yang sensisitf dan sangat dihindari.
Saya bisa membela diri, tetapi pasti enggak nyambung. Sebab, bagaimana bisa menghindari kisah di dalam film bila titik berangkat saya menonton film adalah berdasarkan cerita.
Saya tahu bahwa saya gemar pada kisah, yang dalam bahasa Inggris jadi keren disebut storytelling. Bagi saya, kisah bisa ada di mana-mana dan berbagai platform. Bahkan orang-orang dulu melalui sandiwara radio.
Saya suka dan bisa menikmati kisah melalui bacaan atau tontonan. Itu sebabnya perihal menonton film bagi saya, ibarat membaca buku. Itu sebabnya saya kerap mengutip, “menonton adalah cara cepat dan murah membaca buku”.
Belajar dan belajar
SETELAH jeda, saya ingin memulainya lagi. Saya mencari ilmunya dengan membabi buta. Pokoknya, ilmu dari mana saja, asalkan cara reviewnya tidak menghadirkan sinopsis panjang.
Namun, saya sampai pada jalan berliku dan buntu. Saya tidak bisa seperti orang-orang jago review itu. Mereka “menguasai” teknis dasar pembuatan film seperti sinematogafi dan isi otak bak kamus tentang judul-judul film dan pelaku di dalamnya.
Dalam kebimbangan, saya mengulik tentang genre Kritik Film. Hm, sepertinya ini menarik deh. Saya bisa bebas dari tuduhan melakukan spoler. Namun ternyata, semakin diulik, saya semakin frustrasi.
Jenis Kritik Film ternyata kayak bikin makalah (semi) ilmiah. Memang sih tidak perlu ilmu dasar pembuatan film, tetapi para kritikus film menggunakan pisau ilmu lain. Membedahnya dalam-dalam.
Saya sudah minder duluan melihat ada banyak nomor-nomor catatan kaki. Pada kalimat-kalimat. Bagai bintang yang menghiasi langit malam. Dan di ujungnya, ada deretan referensi entah dipungut dari perpustakaan mana.
Alamak! Makin lama, saya makin puyeng dan ciut nyali.
Review gaya lain
DENGAN sisa-sisa hasrat yang masih tersedia, muncullah tawaran dan kesempatan untuk ikut dalam kelas menulis review dari ISP Nulis (IG @ispnulis) yang diasuh oleh Ichwan Persada (IG @ichwanpersada) dan tim.
Hm, kayaknya cocok nih sebagai bekal untuk berani menulis review lagi. Sebab sedari awal, dalam diskusi umum, sudah terungkap pernyataan bahwa dalam menulis review film, jangan bertumpu menggunakan sinopsis atau jalan cerita film tersebut.
Lumayan nih narasi pembukaannya. Saya harus belajar banyak berdasarkan premis ini. Dengan begitu saya berharap bisa belajar menulis review tanpa dibebani atau dicemaskan soal spoiler film.
Selain itu, ada pula pernyataan lain yang mrmbuat saya keluar dari belenggu mindset. Dikatakan bahwa tidak semua film perlu atau harus direview. Jadi, kita jangan terbebani oleh hal ini juga.
Terkadang, bahkan acapkali pada banyak menonton film, kita hanya perlu menonton saja. Duduk dan menatap layar dengan rileks untuk menikmatinya sebagai tontonan buat menghibur diri sendiri.
Beban jumlah kata
NAMUN, seusai berlega-lega itu, datang kejutan lain yang sama sekali tak terduga oleh saya. Tatkala memasuki tahap lanjutan untuk mulai menulis, saya dikejutkan soal panjang naskah review.
Kami ditawari peluang untuk menulis dan mengirimkan karya review ke media daring Gensindo. Namun, untuk keperluan pemuatan review di sini, disyaratkan panjang artikel minimal 1200 kata.
Glek! Sudah kabayang nih bagaimana panjangnya angka 1200 kata.
Premis untuk review film pertama, saya ajukan—tentu bersama beberapa premis dari rekan lainnya. Lalu, premis itu dinyatakan lolos untuk dibuatkan versi panjangnya.
Tadaaa! Inilah yang terjadi. Jumlah kata saya berhenti di sekitar 700 kata. Wohoo, gimana caranya menambah kata hingga mencapai angka 1200 kata? Mulai deh saya panik berjibaku.
Akhirnya, ketika hari dan jam tenggat tiba, saya menyerah. Saya tidak tahu bagaimana harus memperlakukan review tersebut. Saya tidak mampu berpanjang-panjang untuk untuk memenuhi syarat itu.
Akhirnya bisa juga
SETELAH mengambil jeda dan membiarkannya berlalu, hasrat saya muncul lagi dan terkonsolidasi. Di antara waktu teduh tersebut, saya teringat komunitas KOMiK Kompasiana sedang menyelenggarakan event menulis.
Kompetisi review KOMiK itu bertajuk “Lomba Blog Film Bertemakan Tradisi dan Kearifan Lokal”. Saya menggunakan tenggat lomba tersebut sebagai titik pecut. Pokoknya menulis panjang sekuat tenaga.
Alhasil, behasil. Sekalipun tulisan tersebut tidak tampil sebagai review film sebagaimana diharapkan.
Ya, saya bisa menembus angka 1200 kata.
Berbekal standar stamina yang sama, saya tak sabar menanti kesempatan kedua muncul. Hingga tiba saatnya ISP merilis daftar film pendek, ditawarkan untuk ditonton dan diulas.
Kali ini saya mengubah strategi. Saya tidak mengikuti alur harus mengajukan premis terlebih dahulu untuk mendapatkan persetujuan, baru kemudian ditulis. Saya membaliknya, berusaha menulis panjang terlebih dahulu.
Review film pendek Telur Setengah Matang dengan panjang yang tayang di Gensindo
Cara saya
BEGINI cara saya mengontrol diri agar berhasil. Saya menghabiskan waku semalaman. Mulai dari memilih satu film, menontonnya hingga usai, lagi melakukan riset melalui Google terkait tema film tersebut.
Lalu, mulai menuliskannya. Membaginya dalam bab-bab kecil sebagai pentahapan tuturan. Mengisinya hingga ter-mehek-mehek. Tekad saya, tak boleh dihadap oleh kalimat buntu. Sambil terus meriset kala memeroleh angle “baru”.
Terus, dan terus. Terus, hingga catatan angka di Word menunjukkan angka 1200-an. Saya pun merasa terbebaskan dari tekanan beban. Selesailah sudah draf 1. Ya, draft one. Naskah mentah yang siap memasuki tahap penyuntingan bahasa.
Subuh itu juga saya membuat premis ringkas dalam satu paragraf dan mengirimkannya. Seraya mengirimkan naskah panjangnya melalui surel.
Selesai! Saya pun bisa mendarat di pulau kapuk untuk tidur dengan perasaan plong. Jamberapa itu? Sekitar pukul 04.00 WIB.
Tekad kuat dan mindset
KETIKA ditanya seorang rekan bagaimana caranya saya berhasil mencapai 1200 kata yang terasa berat juga bagi kebanyakan rekan lainnya, saya dapat menjawabnya dengan lugas.
“Caranya memaksa diri duduk, riset sana-sini, hingga jam 04.00 baru tidur.”
Lalu, saya meneruskan hal kedua ini, “Mungkin [juga] karena saya mengubah mindset. Bertekad menulis ‘genre’ [yang saya sebut] ‘esai film’.”
Nah, memang dalam proses belajar kita mengenal istilah Learn, Unlearn, dan Relearn. Untuk (cepat) memelajari hal-hal baru, tak ada jalan lain kecuali kita harus melakukan Unlearn. Setelah itu baru Relearn.
Dalam bahasa lain yang mungkin lebih mudah dipahami adalah keberanian untuk keluar dari zona nyaman berupa gaya, metode, struktur baku kita menulis.
Setelah membaca review sejenis di Gensindo, kali ini saya belajar cara menulis review yang berbeda. Saya asal saja menyebutnya sebagai “esai film”, sebab dua kata itu yang muncul begitu saja dalam benak saya.
Serba pertama
MAKA itulah yang terjadi. Saat dinyatakan lolos dan tayang hari ini, tulisan review film pendek Telur Setengah Matang itu menjadi momentum “pertama” dalam jumlah banyak.
• Tulisan review film pertama saya dengan cara atau gaya seperti itu.
• Tulisan review film pertama saya yang panjang menembus 1200 kata.
• Tulisan review film pertama saya yang tayang di media daring.
• Tulisan review film pertama saya yang (akan) mendapatkan honorarium.
Jadi, memang, selalu ada yang pertama. Begitu, kan?
Dan, hehe, tulisan ini pun menembus angka 1200 kata. Harus diakhiri nih!
Sebelum komen, tadi aku sempat baca dulu review-nya mas. Dan jujur ini review film pertama yg aku baca dengan memasukkan banyak data 😄👍. Unik sih. Krn ga sepenuhnya review. Bagus kalo utk menghindari spoiler.
Aku pribadi suka spoiler. Malah sebelum nonton suatu drama, aku pasti cari spoilernya. Karena aku ga suka nonton sesuatu yg sad ending atau gantung ga jelas 🤣. Itu bikin bad mood dan jadi kepikiran lama hahahahhaha.
Ga masalah udh tau endingnya seperti apa, toh aku ga tau proses menuju ke arah situ kan. Yg penting hrs happy 😁
Tapi aku suka kok cara mas bikin review ini. Jadi lebih berisi 👍. Kita ga cuma bicarain film , tapi data dan fakta yg terjadi di luaran ttg hamil di luar nikah.
Malah aku JD tahu film2 lain yg bertema sama nih. Jadi pengen nonton yg diperanin Nikita willy
Wah, makasih banget Mb sudah repot-repot mencari tulisan ke sumbernya. Iya, awalnya saya juga bingung mau diapain supaya 1200 kata 🙁 Semangatnya anti-spoiler lagi. Jadinya nyambi memberi wawasan, haha udah kayak orang pinter film aja. Btw belum mulus beneran, saya baru belajar hal baru ini.
Oya, maaf ya saya baru nengok blog ini hari ini dan ngasih merespons karena selama beberapa hari lalu ketularan flu berat, jadinya minum parasetamol yang bikin bawaan bodi mager dan ngantuk aja.