KISAH Libur ke Apartemen Nenek ini saya tulis ketika mengikuti program “Menulis Random Setiap Hari 2015” yang jatuh pada bulan Juni 2015.
Cerita fiksi ini mengisi rangkaian menulis pada hari keenam. Panjangnya hanya enam paragraf. Jauh lebih singkat. Ditulis secara spontan, dalam sekali duduk.
Fiksi Libur ke Apartemen Nenek yang versi ini, tentu saja sudah mengalami pengembangan kalimat dan paragraf. Namun, tidak mengalami pemekaran plot apa pun.
Dengan begitu, cerita ini masih sama. Utuh dan tanpa rekayasa pembiakan kata. Tujuannya sederhana saja, yakni untuk dokumentasi dan kenangan buat saya.
Jika Anda berminat dan betah membacanya, syukurlah. Apabila Anda agak atau sedikit terakhir sebagai hasil akhir membacanya, selamat buat Anda.
Mengapa? Sebab untuk ukuran zaman sekarang, membaca sudah menjadi suatu kemewahan dan pilihan yang langka. Itu sebabnya Anda layak diberi apresiasi.
Baca juga: Cerita Fly Me to the Moon
–
HOREEE! Libur sudah tiba. Aku pun diizinkan ayah dan ibu untuk pergi berlibur ke rumah, eh maksudnya apartemen Nenek di sebuah kota yang cukup jauh..
Aku merasa beruntung punya Nenek di tempat lain, sehingga bisa berlibur ke sana. Sementara kebanyakan teman-teman hidup serumah dengan neneknya, jadi mereka tidak punya pilihan seperti aku.
Pada sebuah pagi yang cerah, aku diantar ke stasiun untuk naik ulat besi. Dengan lambaian tangan ayah dan ibu, aku meninggalkan kampung halaman dengan gembira.
Aku tidak berangkat seorang diri. Aku ditemani oleh sebuntel bawaan menggunakan kardus indomi. Isi pakaian dan hasil kebun, hadiah untuk Nenek.
Ketika pantatku mulai panas, ulat besi yang membawaku dengan kencang itu tiba di tujuan. Sebuah stasiun yang dicat dengan warna hijau.
“Hm, yang memilih warna cat ini pasti dia saat itu sedang rindu kampung halamannya,” pikirku.
Seorang supir utusan menjemputku di stasiun. Di pintu keluar, tampak lelaki muda itu dengan pakaian seragam yang rapih. Ia memegang kertas HVS bertuliskan namaku.
Baca juga: Cerita Lagu Rindu Pendaki
Lalu kami berjalan lika-liku seperti menjalankan permaianan ular tangga. Aku tidak tahu kapan akan sampai. Tiba-tiba aku dibangunkan.
“Kita sudah sampai,” kata pak Supir.
Nenek tinggal di belantara gedung tinggi, di kota megapolitan. Hari pertama di sini, aku kesulitan mendapatkan matahari. Langit pun pelit, cuma terlihat sepotong kecil.
Untuk masuk ke partemen Nenek, aku harus naik ke lantai dua puluh sekian–aku sampai lupa mengingatnya. Itu sebabnya keesokannya aku malas betul untuk keluar.
Apartemen Nenek di gedung mana tepatnya, aku masih bingung. Aku pasti nyasar kalau sendirian mencarinya. Bentuk dari deretan bangunan di sana, mirip semua.
Jika mau meminta petunjuk bintang di langit, percuma saja. Tingginya yang menjulang, kotak-kotak, memenuhi kepala. Seperti kandang burung merpati punya teman di kampung.
Berdiri dengan wajah menempel di kaca jendela, aku bisa mengintip ruang tamu tetangga di gedung lain. Dengan teropong, aku bisa melihat kejauhan. Namun, tak ada pemandangan yang bagus.
Baca juga: Kisah Kwatrin Merah Dadu
Tiap hari aku dibangunkan oleh suara dari benda bulat. Namanya dipanggil Miss. Ia aktif muter-muter di seantero ruangan. Kata Nenek, tugas Miss adalah mengepel.
Sepintas, bunyi suara Miss mengingatkan aku pada ulat besi di senja hari. Sambil dudu di tepi sawah, aku melihat jelannya pelan sekali. Sesekali diiringi burung yang terbang.
Ketika terdengar suara Nenek memanggil dari luar kamar, aku mengucek mata dan mengulet seperlunya. Aku diajak lari untuk jalan pagi. Biar sehat, kata Nenek.
“Ke mana kita, Nek?”
“Di sini saja jalannya,” kata Nenek seraya menunjuk treadmill di pojokan menghadap keluar jendela.
Setelah minum, sarapan, dan beristirahat sebentar aku pun diantar mandi gerimis. Aku senang sekali, sebab kalau di rumah ibu sering melarangku mandi hujan.
Kalau di sini, Nenek yang mengatur butir-butir hujan yang turun ke tubuhku. Dingin atau panasnya bisa diatur sesuka hati. Ini namanya shower, jelas Nenek sebelum keluar.
Oya, Nenek punya banyak hewan peliharaan di apartemen. Jenisnya bermacam-macam. Tidak seperti di kampugku, hanya ayam atau sesekali kambing dan sapi.
Mereka berlarian di sebuah bingkai besar di dinding. Ajaibnya, semua hewan itu bisa berbicara dalam bahasa Inggris. Kata Nenek, sangkar itu bernama TNT Cartoon Network.
Sore harinya aku diajak melihat hutan dan sesekali gurun pasir. Alamnya luas, panoramanya luar biasa. Beda banget dengan sawah dan hutan di kampungku. Di sini namanya National Geographic.
Malam itu adalah momen paling menakutkan bagiku. Pas malam Jumat. Ada pembunuhan. Mayat terpotong-potong dan darah korban berceceran. Polisi datang dan menyusul mobil ambulans.
“Nenek suka melihatnya. Om dan Tante CSI pasti bisa menemukan pelakunya,” jelas Nenek menenangkan.
Aku mengangguk pura-pura mengerti. Malam itu aku lalui dengan tidur yang tak nyenyak. Meskipun sudah kutarik sarung hingga menutupi wajah.
Esoknya aku yakin ngomong ke Nenek. Minta pulang. Aku enggak betah di apartemen Nenek. Begitu jelasku dengan wajah polos. Nenek paham, lalu memelukku erat.
Aku liburan di rumah saja. Enggak apa-apa enggak ke mana-mana. Enggak apa-apa juga selalu diteriaki ibu untuk membawa makan siang buat ayah di sawah. (*)
Image: Pixabay