Communication leads to community, that is, to understanding, intimacy and mutual valuing. —Rollo May
Hari telah menjemput malam untuk datang. Deretan tenda yang tadinya semarak, kini telah samar dalam pandang karena temaram. Arena terbuka di Gandaria City Jakarta itu, hanya menyisahkan beberapa orang. Menandakan “pesta” bloger yang berlangsung di dalam dan di luar area mal, telah usai. Masing-masing orang dengan agenda lanjutan, telah menemukan jalan untuk pergi.
Perempuan yang terkesan gagah dengan tampakan tinggi dan besar yang menangani area luar itu, masih saja sibuk hilir mudik. Kerap kali membawa sesuatu ke sana dan ke sini, mengangkat sesuatu yang sesekali terlihat berat. Pada malam yang kian tinggi, saat kami benar-benar akan bubar habis, saya mendapatinya sedang duduk. Di tempat seadanya, tampak kelelahan.
Seharian, bahkan sore dan malam sebelumnya, ia mengurus entah berapa belas tenda di area parkir. Tiap-tiap tenda adalah markas berbagai komunitas, sebagian besar adalah bloger dari berbagai penjuru Indonesia. Ia pula yang sejak ketibaan saya di Jakarta, telah berceloteh tentang berbagai side event di luar venue utama di area dalam mal itu.
Bersama sekelompok kecil wakil komunitas, pengarah acara, dan sponsor, kami mendiskusikan bagaimana menghidupkan area luar itu. Saya tak bisa mengelak–kebagian tugas untuk beraksi pada hari-H. Alasannya sederhana, setiap komunitas harus terlibat dan berperan serta, bukan hanya tamu, dalam “pesta” esok hari.
Waktu bergerak, tujuh tahun telah berlalu sejak kehebohan acara bloger itu. Namun, hingga kini, meski beberapa bagian telah samar, saya tak pernah melupakan adegan itu. Perempuan bernama Wardah Fajri itu duduk dalam temaram dengan wajah kelelahan yang tidak diucapkannya.
Di ujung pamit, sebelum saya kembali ke hotel yang ia upayakan tersedia bagi beberapa kami yang berasal dari daerah, saya baru mengetahui satu hal mengejutkan ini. Bahwa event ini adalah kegiatan blogger terakhir yang ia tunaikan sebelum pamit untuk selamanya dari korporasi tempat ia bernaung.
“Mengapa?” Itu pertanyaan saya yang terdengar lugu saat itu. Dada saya terasa agak sesak, terutama setelah menikmati suguhan acara panjang yang benar-benar bisa dinikmati secara komunitas. Saya membawa kegelisahan itu bersama kelelahan menjalani 24 jam terakhir untuk mengikuti event di Gandaria City itu.
Pertanyaan “mengapa” masih juga bergaung di benak saya pada setahun kemudian, dalam momentum acara serupa. Perempuan yang telah menjadi orang merdeka itu, mengapa masih saja peduli pada kami, rombongan kecil dari Yogyakarta. Ia “mengutus” sang suami, Satto Raji dan seorang rekan untuk bangun subuh dan menjemput kami di Stasiun Gambir. Mengantar untuk sarapan pagi sebelum menuju venue.
Esensi Komunitas
Banyak teori tentang komunitas yang diutarakan para pakar. Saya tidak ingin mengutip banyak-banyak yang pada esensinya sama. Kertajaya Hermawan (2008) mengatakan bahwa komunitas adalah kelompok sosial dari berbagai organisme dengan berbagai macam lingkungan, pada dasarnya mempunyai habitat serta ketertarikan atau kesukaan yang sama.
Lanjutan dari bacaan saya ini menuturkan bahwa di dalam komunitas ini individu-individu di dalamnya mempunyai kepercayaan, kebutuhan resiko, sumber daya, maksud, preferensi dan berbagai hal yang serupa atau sama.
Pada bahan yang lain, saya membaca tentang pengertian kata komunitas yang berasal dari bahasa latin communitas. Berasal dari kata dasar communis, yang artinya masyarakat, publik, atau banyak orang.
Masih dalam bacaan yang sama tersebut, saya menjumpai nama Mac Iver. Ia mengemukakan bahwa community diistilahkan sebagai persekutuan hidup atau paguyuban. Menurut Mac Iver, pembentukan komunitas didasari beberapa hal, antara lain sentiment community.
Semakin menarik bila kita simak lebih jauh bahwa pada sentiment community akan kita jumpai unsur-unsur ini: seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan.
Sangat menarik! Terus terang saya lebih menyukai bahasan tentang komunitas dari sisi psikologis ini, daripada perbincangan yang berbasiskan uraian teknis. Menurut saya, inilah sisi esensi sebuah komunitas, yang membuatnya kuat berakar hingga dalam. Semakin banyak unsur pembentuknya, terutama unsur psikologis (atau “emosi”) ini, akan semakin “tak lekang” sebuah komunitas.
Bukankah kerap kita menemukan komunitas yang lebih mirip organisasi massa atau korporasi meski berjuang menampakkan wajah komunitas organik. Dengan mudah kita menjumpai di dalamnya segala urusan berdasarkan kepentingan tertentu. Sementara manusia di dalam komunitas tersebut, yang sejatinya menjadi pembentuk komunitas, tak sempat mendapat bagian dalam sapa secara personal.
Komunitas Ber-DNA
Tujuh tahun semenjak berdirinya, pada acara puncak bertajuk “Selebrasi Virtual BloggerDay 2022”, kita disuguhi (ulang) paparan tentang apa dan siapa itu Bloggercrony Indonesia. Dalam acara yang berlangsung secara hibrida (luring dan daring), secara ringkas kita diingatkan tentang Bloggercrony Community (BCC) dengan rangka-rangka programnya:
- BloggerHangout (seri webinar)
- BloggerPreneur
- BloggerView (Partnership)
- BloggerCare
Formulasi dari semua itu teramat jelas tercakup dalam tiga kata kunci: Blogging, Networking, dan Empowering. Namun, dari keempat format program di atas, manakah salah satu yang tidak pernah atau jarang kita jumpai ditetapkan sejak mula dan diperlakukan sebagai bagian dari tiang penyanggah utama dalam membangun komunitas? Itu adalah BloggerCare! Inilah DNA autentik yang paling bernilai istimewa dari BCC.
Sebagai informasi, setidaknya dari bacaan ini, kita tahu bahwa DNA adalah singkatan dari deoxyribonucleic acid. “DNA merupakan rantai molekul yang berisi materi genetik yang khas pada setiap orang ….. DNA bisa bermanfaat untuk menunjukkan perbedaan satu organisme dengan organisme lainnya.” Tak bisa mengelak dari ini, “Setiap sel di tubuh kita tersusun dari DNA.”
Dari mana kita tahu BCC memilih DNA yang kuat dan tampak jelas? Dari tujuh paragraf pembuka artikel ini, yang hendak saya kisahkan semenjak awal tulisan ini berada dalam benak dan rencana. Namun cerita tentang esensi komunitas ini ingin saya kisahkan lebih lanjut.
Beberapa tahun lalu saya dan teman-teman di Yogyakarta dikontak oleh Wardah Fajri. BCC sedang menginisiasi sebuah acara untuk kalangan difabel di Yogyakarta. Kami ditawari dengan bahasa penyampaian sangat halus dan santun, dengan narasi yang saya artikulasikan ulang, “Ini acara BloggerCare, bermisi sosial, enggak ada duitnya. Apakah masih bersedia membantu?”
Atau, kisah yang masih hangat beberapa bulan yang lalu, saat varian Delta dari pandemi Covid-19 sedang mengganas di Indonesia. Usai saya kehilangan ayah dan ibu mertua secara nyaris bersamaan, seseorang mengontak saya. Ia bertanya sekaligus memberi tahu, apakah saya mendaftarkan nama dalam program BloggerCare?
Ia lalu bercerita bagaimana ia bisa mendapat bantuan saat keluarganya dirundung virus ganas ini dan harus menjalani isoman cukup lama. “Lumayan bantuannya, bisa meringankan beban keluarga kami,” ungkapnya. Mendengar kisah itu, saya terdiam dan merenung panjang.
Bagian akhir yang ingin saya utarakan adalah hal sederhana tentang bagaimana BCC merancang perayaan yang berlangsung Minggu, 27 Februari 2022 itu. Secara ofisial terkurasi telah 100 peserta. Namun, menanggapi antusiasme pendaftar, diberlakukanlah adanya bloger yang belum terpilih diundang sebagai peserta umum.
Dan, ini dia yang paling menarik, dari cara BCC memberi benefit bagi peserta! Ada bebagai lomba, kuis, atau apalah namanya. Panitia bekerja sangat keras dalam mengupayakan semua, ke-100 peserta terpilih, mendapat berbagai apresiasi. Dengan berbagai upaya, dengan beragam cara, BCC hendak berbagi bahagia kepada semua bloger.
DNA ini adalah DNA yang kurang dipahami di era orang-orang tampak melulu berbicara dan berpikir tentang cuan. Padahal, inilah esensi sebuah komunitas. Ada nilai yang lebih utama dari cuan atau materi. Bloggercrony Community pernah dan sedang melakukannya. Dan saya yakin, BCC akan terus menunjukkannya hingga ulang tahun entah keberapa.
Rollo Reece May, seorang tokoh psikologi terkenal dari abad 20, pernah menyampaikan sesuatu yang menarik terkait komunkasi dan komunitas. “Communication leads to community, that is, to understanding, intimacy and mutual valuing,” ujarnya. Dari ketiga kualitas ini, tidak akan aneh bila melahirkan care dalam komunitas yang sejati. Itulah esensi seseorang berkomunitas.
Bukankah begitu?
Aku seneeeng bisa JD bagian dari BCC ini. Walopun memang aku hanya aktif dalam ikutan sharing link blog, tapi ga pernah partisipasi ketika ada event dll. Pengen sebenernya, tapi terkadang bentrok dengan pekerjaan utama.
Yg pasti, dari beberapa komunitas blogger yg aku ikutin, BCC aku akuin yg paling asyik dan aktif. 👍
Makasih ya Mb sudah turut urun rasa di sini dan berbagi pengalaman yang serupa. Semoga BCC langgeng, mewarnai dunia perblogeran, dan tak lelah berbagi edukasi.
Saya blogger pemula yang belum merasakan euforia event blogger luring. Seru sepertinya. Next, setelah pandemi mereda, semoga banyak event blogger yang dilangsungkan secara offline.
Seru kak pengalaman luring bersama komunitas bloger. Biasanya selalu menambah wawasan dan ilmu. Ada beberapa komunitas yang mulai bikin acara luring.
Aku suka sekali dengan statement akhir bahwa esensi dari komunitas adalah munculnya value yang positif dan juga rasa empati dan peduli minimal kepada sesama teman Anggota di Komunitas itu.
Kalo bisa lebih meluas ke masyarakat sosial lainnya adalah sebuah credit point
Itu yang paling berharga sih dari sebuah komunitas, bisa memberikan pengaruh positif bukan hanya buat anggota komunitas, tapi juga lingkar lebih luas.
Saya bukan member BloggerCrony. Baru aktif blogging baru-baru ini, setelah resign dan balik kampung halaman. Baca ceritanya saya dapat kesan ini sebuah komunitas blogger yang boundingnya kuat. Jemput teman dari luar daerah, memberi keramahan, bikin acara sosial yang tak ada cuannya. Terakhir kali saya punya komunitas (non-bloger) yang boundingnya kuat seperti ini justru di Jogja, saat mahasiswa.
Saya teringat juga pernah nyebur di sebuah komunitas di Jakarta, yang lebih mirip organisasi massa/korporasi. Padahal menyebut dirinya support system. Tulisan soal komunitas ini menyinggung sampai ke akarnya.
Kalau sudah terpikat kayak gini, mau masuk jadi member? Hahaha.
Btw saya terkesan loh dengan perjalanan nulisnya Nieke. “Kampung”-nya di kota Surabaya kan, ya? Kapan-kapan jumpa ya kita kalau saya ke Surabaya.
Merasakan sekali bisa bertemu dengan Bloggercrony community, pertama bertemu terasa sekali kekeluargaannya. Bertemu emak-emak blogger, larut dalam keseruan via zoom, lomba menulis cepat, lomba tebak kata. Semoga sehat selalu founder, co founder, dan seluruh pengurus Komunitas Bloggercrony Indonesia
Nah, ada lagi nih yang berbagi pengalaman. Komunitas yang baik baik akan membawa banyak suka. Kalau ada dukanya, boleh juga sih asalkan hanya seperlu, hehehe..
Dulu belajar nulis blog cuma iseng iseng dan untuk bikin catatan aja, kalau sewaktu waktu perlu bisa dilihat lagi, jadi nggak terpikir untuk gabung dengan komunitas..
Pada era awal tumbuh kembangnya bloger di Indonesia, semua pada berkomunitas. Biasanya lebih dari satu. Ada yang lokal, ada pula yang nasional. Dan setiap tahun, ada acara nasional tahunan. Sponsornya keren-keren, termasuk kedutaan asing di Jakarta.
Wah keren ya, tujuan berkomunitas selain menambah ilmu dan pertemanan juga mempererat tali silaturahmi. Semoga acara ini selalu ada agar peserta yang ikut juga bertambah dan berganti agar pengalaman selalu dapat.
Seiring dengan perjalanan waktu, komunitas khusus yang menghimpun bloger di Indonesia, semakin berkurang. Namun yang ada atau masih bertahan, cukuplah mengwadahi..
iyess betul sekalii, sebuah komunitas biasanya akan melahirkan kegiatan yang bersifat sosial
kepedulian terhadap sesama.
semoga sukses selalu BCC mupeng pengen bisa join gimana caranya?
Monggo loh kalau mau join, tinggal colak-colek pengurusnya kak dan utarakan niat. Pasti disambut, kok..
Kadang bergabung di suatu komunitas lebih menyenangkan dibanding masuk di organisasi…entah kenapa lebih nyaman, karena tidak terikat
Mungkin disebabkan hubungan antar-pribadi lebih longgar, begitu juga dengan aturan-aturannya lebih cair.