Sampah Makanan dan Ujian Cinta dalam Selempeng Piring

Ratusan ribu kerang tewas, Beruang Kutub kian kurus menunggu punah. Kita sedang menanti giliran bila terus membuang sampah makanan

YUKNULIS – Mari kita luangkan waktu sejenak dan memperbincangkan soal sampah makanan.

Dalam perjalanan tumbuh-kembang sebagai manusia, akan tiba saatnya ketika kita dianggap (cukup) dewasa. Salah satu penandanya adalah tatkala kita menerima selempeng piring untuk bersantap mandiri. Mengambil nasi  Masa-masa disuapi dianggap telah berlalu.

Selempeng piring kosong adalah “sekolah” pertama tempat kita memulai pelajaran tentang kekuasaan dan bagaimana melakukan orkestrasi dalam fungsi kepemimpinan. Kita dilarung untuk otodidak dan matang menyelaraskan irama ego.

Pola pengasuhan kita (mungkin) tak pernah mengajarkan bagaimana selempeng piring kosong adalah padang yang mempertempurkan berbagai hal. Gelas kosong yang menyertai, menghadapkan kita pada kematangan dalam menentukan pilihan. Sementara sendok dan garpu, menjelma alat yang secara trampil kita mainkan untuk memenuhi hasrat mengenyangkan perut.

Ketika saya mulai mengelola piring makan sendiri, duduk sama rendah dengan orang-orang dewasa di sekitar meja makan, dua petuah ini tak terlupakan hingga saat ini. “Jika sedang makan, jangan memerhatikan piring orang lain. Perhatikanlah piringmu sendiri,” ujar tante saya.

Petuah kedua, adalah commen sense yang diajarkan kepada anak-anak pada masa lampau. “Tandaskan makanan di piringmu sehingga wajahmu tidak dihiasi jerawat.” Wow, petuah kedua ini betapa menakutkan bagi seorang anak culun.

“Kurikulum” Piring Kosong

Selempeng piring, mengajarkan banyak hal soal hidup dan menjalani hidup.

Apa “kurikulum” hidup paling mendasar dan krusial darinya? Kita diberi kesempatan sepanjang hayat untuk belajar memahami, merawat, dan mematangkan kedewasaan. Terutama perihal mengelola ego. Ujian akan hal ini akan datang secara berkala menjenguk kita.

Seperti apakah ujian itu? Semisal hamparan makanan yang menerbitkan dorongan kuat pada kita untuk meraup apa saja yang ada dan terjangkau tangan ke dalam piring. Andai bisa, menumpuknya setinggi Monas. Perkara menghabiskannya, itu urusan lain. Benak kita dibuat silau dalam urusan menakar.

Dalam kelobaan seperti ini kita abai pada diri sendiri dan buta terhadap hal apa pun di luar kita. Betapa kemudian, sebagai contoh, pergulatan ini memuncak. Bagaimana mengalahkan bertambahnya berat badan yang berlebihan, menjadi perjuangan yang teramat berat, bahkan bagi Dilan yang perkasa memikul rindu.

Di usia yang menanjak kelak, perilaku ini kian tak mampu membendung hadirnya sejumlah masalah kesehatan yang mudah ditebak. Kita tinggal memilih variasi antara hipertensi dan kolestrol, diabetes dan asam urat, atau kombinasi lainnya.

Kita pun terasa bebal untuk dibuat memahami korelasi antara diri kita dan apa yang menjadi isu-isu global umat manusia. Mengenai ini, terasa aktual belakangan ini berbarengan dengan pemberitaan yang menggelisahkan.

Pertama, terpetik kabar bahwa bongkahan es terbesar di dunia, seukuran pulau Madura atau Lombok, telah tercerabut dari salah satu gletser di Antartika. Ia kemudian mengambang di Laut Weddel (Kumparan.com, 23/05/2021).

Menurut National Snow and Ice Data Center (NSIDC), peristiwa itu tidak akan berdampak langsung pada permukaan laut. Namun demikian, dapat memperlambat aliran gletser dan aliran es ke laut. Hal ini berpengaruh pada naiknya air laut.

Kedua, cnnindonesia.com (26/02/2020) melansir studi yang diterbitkan dalam Ecological Application. Ditemukan fakta bahwa kini Beruang Kutub semakin kurus. Bukan karena rajin yoga atau giat pilates, tetapi disebabkan pencairan es laut. Diiringi isu kesehatan dan turunnya jumlah anak spesies itu.

Para peneliti membagi kondisi tubuh Beruang Kutub dalam tiga skala. Skala 1 berarti kurus, skala 3 berarti gemuk (berlemak sehingga tubuh mereka hangat). Alhasil, dari 352 beruang yang dianalisis, tak sampai 50 ekor yang masuk dalam kategori gemuk yang semestinya.

Penyebutan atau penelitian terhadap beruang bukanlah karena dia hewan lucu nan gemes. Beruang Kutub adalah ikon perubahan iklim sekaligus indikator awal perubahan iklim. Para peneliti menemukan korelasi antara turunnya bobot beruang kutub setiap tahun dan berkurangnya es di laut.

Diberitakankan pula bahwa sebelumnya terdapat ratusan ribu kerang mati di sebuah pantai di Pulau Utara Selandia Baru. Kematian massal itu dipicu oleh cuaca panas plus surutnya air di siang hari. Diperkirakan akan lebih banyak kerang yang tewas karena efek dari krisis iklim yang semakin cepat.

Pemberitaan terpisah sebelumnya memberi tahu kita bahwa bumi secara keseluruhan telah kehilangan 28 triliun ton es di kutub antara tahun 1994 dan tahun 2017. Es terus menghilang di sebagian besar wilayah bumi disebabkan oleh perubahan iklim.

Gas Metana yang Bikin Merana

Dampak perubahan iklim kian jelas dirasakan oleh manusia dan hewan. Namun, yang mungkin tak tersadarkan oleh kita hal tersebut beranjak dari seberapa peduli kita pada selempeng piring kita masing-masing.

Bobo.grid.id menulis, “Menyisakan makanan dan membuangnya dapat menyebabkan pemanasan global, lo! Saat kita membuang makanan, kita tidak hanya membuang makanan, tapi juga membuang sumber daya yang digunakan untuk membentuk makanan tersebut.”

Disebutkan, untuk menanam sayuran dibutuhkan air, tanah, dan pupuk agar sayur tumbuh dengan baik. Saat kita membuang makanan, sama saja kita membuang air, tanah, dan pupuk yang digunakan untuk merawat sayuran tersebut.

sampah makanan indonesia
Sampah makanan di Indonesia (Foto Mylanta via Brilio)

Sampah makanan di tempat pembuangan akhir akan menghasilkan metana dalam jumlah sangat besar. Metana adalah gas rumah kaca yang lebih kuat daripada karbon dioksida (CO2) yang berbahaya bagi atmosfer bumi. Efek rumah kaca juga ditimbulkan oleh karbon dioksida yang berasal dari limbah tersebut.

Gas-gas tersebut dapat merusak lapisan ozon, padahal salah satu fungsi lapisan ozon adalah menjaga kestabilan suhu di bumi. Suhu yang terganggu itulah yang menyebabkan pemanasan global serta kenaikan permukaan air laut akibat mencairnya es di bumi.

Rasanya sudah terlalu klise untuk mengutip The Economist Intelligence Unit yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara terbesar kedua setelah Arab Saudi yang menghasilkan food waste dan food loss di dunia. Sementara itu, Global Hunger Index mengatakan bahwa tingkat kelaparan di Indonesia berada di level serius.

Apakah masih perlu ditanyakan apa itu food waste dan food loss? Untuk menjawabnya, izinkan saya mengutip uraian dari situs zerowaste.id. Ringkasnya, food waste adalah makanan yang siap dikonsumsi tetapi harus dibuang. Tidak menghabiskan makanan di piring adalah contoh yang baik untuk itu.

Food loss adalah bahan pangan seperti mentah yang harus dibuang karena tidak bisa diolah menjadi makanan. Entah karena bermasalah di proses pra-panen atau dalam penyimpanan. Termasuk yang menyedihkan saat bahan makanan itu membusuk di kulkas rumah kita.

Inilah paradoks yang menyayat hati. Ada banyak orang yang sedang kelaparan di luar sana, sementara kita yang berkecukupan (berlimpah makanan) kerap membuang atau tidak sudi menghabiskannya karena berbagai alasan.

bahaya sampah makanan
Bahaya sampah makanan (Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan)

Cinta dalam Selempeng Piring

Banyak pihak concern, tidak kurang-kurang komunitas terbentuk serta gerakan formal dan nonformal diluncurkan. Berupa tindakan nyata maupun berbagai kampanye untuk pencegahan. Semisal yang dilakukan oleh Bandung food smart city. Program di bandungfoodsmartcity.org merupakan wujud kolaborasi antara Rikolto veco, Fisip Unpar, dan Pemerintah Kota Bandung.

Anda dan saya mungkin tidak mampu mengikuti itu semua dan berbuat banyak. Namun, ajakan Thomas Keller ini telah cukup bermakna memanggil kita untuk memulai langkah dari “respek”. Ia berujar, “Respect for food is a respect for life, for who we are and what we do.” Respek ini pada akhirnya akan melahirkan sikap dan tekad bebas sampah makanan serta membentuk gaya hidup minim sampah makanan.

Dalam konteks di sini, saya ingin menggarisbawahi dengan kalimat “mulailah dari piring Anda”. Hal itu akan membuat kita mengerti ilustrasi ini:

Jika Anda ingin mengelola negara, mulailah dari mengelola warga. Jika Anda ingin mengelola warga, mulailah dari mengelola keluarga. Jika Anda ingin mengelola keluarga, mulailah dari mengelola piring makan Anda.

Dalam selempeng piring, terdapat ujian cinta Anda pada diri sendiri dan sesama. Lebih baik menambah makanan saat Anda belum kenyang, daripada membuang makanan saat Anda terlalu kenyang. []

Bacaan:

  • https://kumparan.com/kumparansains/gunung-es-terbesar-di-dunia-seukuran-pulau-lombok-pecah-di-antartika-1vmq5J0N3vK/full
  • https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210126175434-199-598688/es-di-kutub-hilang-28-triliun-ton
  • https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200225160453-199-478013/krisis-iklim-beruang-kutub-makin-kurus-dan-sedikit-beranak
  • https://bobo.grid.id/read/08958167/sisa-makanan-ternyata-dapat-menyebabkan-pemanasan-global-apa-sebabnya?page=all
  • https://zerowaste.id/zero-waste-lifestyle/perbedaan-food-loss-dan-food-waste/
Ang Tek Khun
About the author

angtekkhun menulis di media cetak saat kuliah psikologi, berkarier di industri penerbitan, dan beralih ke media digital sebelum menggeluti integrasi media berbasis psikologi pembaca.

Tinggalkan komentar